"Jadi ini perpustakaan sekolah, cukup besar sih tapi jarang banget di pake siswa. ya ada beberapa siswa aja yang sering kesini. ngga banyak yang ngabisin waktu disini. karena katanya perpustakaan sekolah angker." Ucap murid perempuan yang berjalan beriringan disampingku. ia menjelaskan satu persatu ruangan yang kami lewati disekolah.
"Angker?" tanyaku yang mulai penasaran, karena aku adalah orang yang sering menghabiskan waktu di toko buku atau perpustakaan dan kata angker yang ia sematkan ketika menjelaskan perpustakaan sekolah cukup menarik perhatianku.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ia mengambil ponselnya setelah itu wajahnya terlihat panik. "Gista, aku tinggal ngga papa? Aku lupa ada rapat Osis."
Aku mengangguk mengiyakan dengan senyum di bibirku.
"Ngga papa ya, kamu keliling sendiri."
"Iya ngga papa Maya. aku mau langsung ke perpustakaan aja"
Maya mengangguk mengiyakan "Perpus tutup jam lima sore jadi kamu masih punya banyak waktu kalo mau tetep disana." Maya sangatlah ramah, ini adalah hari pertama aku kembali kesekolah, aku murid pindahan. walau aku murid baru, maya memperlakukanku sangat ramah seolah aku dan dia telah mengenal lama. "Kalo gitu aku duluan ya."
Setelah Maya pergi, akupun mulai memasuki perpustakaan sekolah. suasana disana sangat sepi selain tempatnya yang berada di belakang sekolah, juga di penuhi banyak pepohonan menambah sunyi di dalam ruangan. namun entahlah, aku menyukai suasana itu seolah tengah berada di alam terbuka. Memang benar hanya ada beberapa murid yang berada di dalam itupun mereka hanya meminjam buku dan pergi membawa buku itu keluar perpustakaan. aku pun memasuki lorong buku sastra, aku adalah pencinta sastra hingga yang pertama kali aku cari adalah buku-buku sastra.
Setelah aku menemukan apa yang aku cari aku berniat untuk duduk disalahsatu bangku baca di perpustakaan, ketika aku menemukan tempat yang tepat untukku. Aku menyadari ada siswa lain disana, seorang murid laki-laki yang duduk di ujung bangku baca. Aku tidak begitu jelas melihatnya karena wajahnya tertutup beberapa buku disampingnya. akupun melanjutkan niatku untuk membaca beberapa buku sastra.
Beberapa hari setelah itu, aku mulai meluangkan waktuku untuk pergi ke perpustakaan. karena setiap aku pergi kesana aku selalu menemukan dia yang duduk ditempat yang sama. aku mulai penasaran dengannya, hingga aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Ia terlihat terkejut ketika aku menyapanya. Wajahnya juga kulitnya terlihat sangat pucat, ia memiliki rambut yang sedikit ikal juga mata yang sayu. Aku tersenyum kearahnya, ia tak memberi ekspresi lain kepadaku selain memperlihatkan wajah datarnya. Aku menjadi merasa bersalah karena mengganggu waktu membacanya, aku pun meminta maaf dan berniat kembali ke bangku ku. namun tiba-tiba tangannya menahanku, aku terkejut dan menoleh kearahnya.
"Duduklah dismpingku." Ucapnya yang tak lama melepaskan tangannya dariku.
Aku tersenyum mendengar apa yang ia ucapkan, akupun duduk disampingnya. "Boleh aku bertanya, kenapa hampir setiap hari kamu ada di perpustakaan?" Tanyaku yang mulai penasaran.
Ia menoleh kearahku memberi wajah tanpa ekspresinya, tak lama ia menjawab "ini tempatku, aku suka membaca."
Aku kembali tersenyum, "Aku Gista. Gista Anastasya anak IPA II. kamu ?" Ucapku yang menyodorkan tangan untuk berkenalan dengannya.
Ia menoleh kearah tanganku, dan tak lama menatap kearahku dengan wajah yang tanpa ekspresi. "Dika" ucapnya yang tak menyambut tanganku.
Setelah perkenalan itu, aku semakin sering berkunjung ke perpustakaan. bukan hanya itu bahkan ia mulai datang kedalam pikiranku, terkadang menjadi inspirasiku untuk membuat sebuah puisi atau prosa lainnya. terkadang juga aku merasa bersemangat setiap kali pulang sekolah dan pergi menemuinya di perpustakaan. namun ia masih belum berubah ia masih tetap sama, memandangku tanpa ekspresi, juga dengan wajahnya yang pucat itu.
"Ternyata kita punya kesukaan yang sama, sama-sama suka sastra." Ucapku kepadanya ketika ia tengah membaca sebuah buku sastra.
Ia menoleh kearahku sesaat, dengan tatapan dingin dari matanya yang sayu. tak lama ia kembali melanjutkan bacaannya.
Aku untuk kesekian kalinya terus menghabiskan waktuku di perpustakaan hingga perpustakaan tutup. namun selama itu juga, perasaan aku terus terasa sangat kacau, aku sedikit merasakan perasaanku yang gelisah ketika didekatnya. sesekali aku mencuri pandangan kearahnya dari samping, menatapnya dari samping tanpa terhalangi buku-buku yang biasa menutupi sebagian wajahnya. Tiba-tiba senyum hadir menghiasi wajahku. Aku terus menatapnya, tanpa aku sadari kini iapun menoleh kearahku dan berbalik menatapku. Tak lama aku menyadarinya dan langsung berpura-pura kembali membaca buku-bukuku. Pipiku rasanya sangat merah menahan rasa malu, ia masih menatapku dan membuatku jadi salah tingkah.
Aku terkejut ketika tiba-tiba ia tertawa, akupun langsung menoleh kearahnya mengamati setiap tawa yang hadir sore itu. ia yang menyadari aku terkejut dengan tawanya, mulai tersenyum kearahku.
"Ini perpustakaan bukan tempat buat pacaran atau pdkt-an." Ucapnya yang seolah tengah meledekku.
Aku mendengar ucapannya langsung mengernyitkan dahi dan bertanya apa maksud dari ucapannya. namun ia tersenyum sesaat kembali melanjutkan membaca buku-bukunya. kini aku mulai tersenyum, rasanya aku merasakan sebuah kebahagiaan karena akhirnya ia menampilkan ekspresi lain. Wajahnya terlihat tampan ketika ia tengah tersenyum bahkan ketika ia tertawa dengan wajahnya yang pucat dan matanya yang sayu menambah menarik wajahnya untuk terus di tatap.
Ketika tengah asik bercengkrama dengan Dika, tiba-tiba aku teringat pesan ibu yang memintaku untuk pulang cepat. Akupun bergegas keluar perpustakaan meninggalkan Dika. ketika melewati koridor yang tak jauh dari perpustakaan, tanpa sengaja aku menabrak seorang siswa, aku terjatuh namun tidak dengan ia.
"Maaf kak." ucapku yang meminta maaf. dan tak lama aku kembali berjalan terburu-buru menuju gerbang sekolah.
Kurang lebih tiga minggu aku tidak mengunjungi perpustakaan kembali, karena kesibukanku yang tengah ujian tengah semester juga karena terhalang waktu liburan sekolah. selama itu dia terus berada dalam pikiranku, sampai suatu malam aku dikagetkan dengan suara kerikil yang menghantam jendela kamarku. Aku bergegas memastikan dengan menoleh keluar rumah dari dalam jendela. samar-samar aku melihat ada seorang pria berpakaian sekolah berdiri membelakangi gerbang rumahku, seolah tengah menunggu seseorang. tanpa pikir panjang aku bergegas keluar rumah untuk menghampirinya karena aku sadar pria itu adalah Dika.
Dika tersenyum kearahku, ketika aku tiba dihadapannya. begitupun denganku yang juga tersenyum kearahnya karena dapat kembali bertemu dengannya. Akupun mulai merasakan degup jantung yang tak beraturan setiap kali bertemu dengannya, dan itu membuatku bertanya pada diriku. Apakah aku jatuh cinta padanya atau apa?
"Darimana kamu bisa tahu rumahku?" Tanyaku kepadanya.
Ia tersenyum lalu berkata "Aku mengikutimu."
Aku tersenyum seolah tak percaya dengan apa yang ia katakan "Kenapa malam-malam kamu pake seragam sekolah?" Tanyaku yang mulai penasaran, mengapa ia memakai baju seragam padahal ini masih libur sekolah. dan sekolah akan kembali di mulai senin depan.
Kembali Dika tersenyum, "Aku takut kamu tidak mengenaliku."
Aku hanya tertawa mendengar ucapannya, "Aku mengenalimu. so kenapa kamu bisa datang kesini?"
"Aku merindukanmu."
Ucapan Dika itu sukses membuatku terkejut dan mengernyitkan dahi, aku hanya tertawa tersipu malu di depannya. "Kalo gitu masuk dulu, kita ngobrol di dalem." Ucapku yang mengajaknya untuk memasuki rumahku.
"Aku hanya ingin melihatmu, sekarang kembalilah kedalam rumah. orang tuamu akan menghawatirkanmu, jika kamu masih disini." Ucap Dika.
Aku tersenyum mengangguk lalu mulai berpamitan untuk kembali kedalam rumah aku berjalan mundur dengan tangan yang terus melambai kearahnya, dan ia yang tersenyum dengan sesekali membalas lambaian tanganku. Entah mengapa aku merasa sangat bahagia karena dapat bertemu dengannya. Akupun berbalik dan berjalan seperti biasanya, ketika akan memasuki rumah aku berhenti, dan berbalik untuk kembali menatap Dika. Namun ketika aku berbalik Dika sudah menghilang darisana.
Keesokan harinya, Maya yang mengetahui kebiasaanku yang menghabiskan waktu sepulang sekolah di perpustakaan. mulai menaruh rasa penasaran karena dihari pertama kembali ke sekolah, aku berniat menghabiskan waktuku di perpustakaan seperti biasa. itulah yang membuat Maya penasaran, bahkan ia penasaran akan sosok siswa yang biasa menemaniku, membuatku ingin terus berlama-lama di perpustakaan. hingga akhirnya sepulang sekolah kali ini dia meluangkan waktunya untuk menemaniku juga menemui siswa itu, yang tak lain adalah Dika. setibanya kami di perpustakaan, aku tak menemukan Dika disana. dan itu sungguh membuatku terheran-heran, karena setiap hari Dika selalu ada disana.
"Mungkin hari ini dia ngga masuk sekolah, atau mungkin dia pulang duluan."
"Atau mungkin juga, dia tahu aku datang kesini karena penasaran sama Dia jadi dia ngga dateng. nambah misterius banget sih." Ucap Maya yang terlihat kesal.
"Maaf May, next time aku kenalin kamu sama dia ya."
"Kalo aku boleh tau namanya siapa? Aku kan anggota Osis nih. kali aja aku tahu kelas berapa dia. anak IPA apa IPS kan."
"Namanya Dika." ucapku yang kembali berjalan beriringan dengan Maya keluar perpustakaan.
Ketika melewati lorong perpustakaan aku kembali menabrak seseorang, dan ternyata orang itu adalah orang yang sama yang pernah aku tabrak. kali ini aku tidak terjatuh karena tangannya yang menahan badanku. dan Maya yang melihatnya hanya diam tanpa ekspresi.
"Lain kali kalo jalan jangan buru-buru kan nabrak lagi. untung aku yang di tabrak." Ucapnya.
"Maaf Kak."
"Kak Leon udah kenal sama Gista." Ucap Maya yang ternyata mengenal pria itu.
Pria itupun menceritakan kejadian yang lalu, dan membuat aku terus menunduk malu juga membuat Maya terus menganggukan kepalanya, seolah paham dengan ceritanya.
"Oh iya, ini milik kamu bukan?" Tanya Kak Leon yang menyodorkan sebuah buku kecil bersampul batik berwarna coklat.
"iya." Ucapku yang mengambil buku tersebut.
"Buku itu kenapa ada di bangku yang biasa Dika tempatin? kamu duduk disana?" Tanyanya.
Aku yang mendengar pertanyaan itu lalu menjelaskan, "kemarin buku ini di pinjem Dika, aku lupa ngga ngambil buku ini dari Dika. karena aku buru-buru pulang."
"Dika minjem buku kamu? Mustahil banget." Ucap Kak Leon yang membuat aku dan Maya saling menatap satu sama lain.
"Dika itu sahabat baikku. kami sudah seperti keluarga. Orang tua kami sama-sama saling menganggap kami bersaudara karena kedekatan kami sejak kecil." Ucap Kak Leon yang mulai menceritakan perihal soal Dika. Kami bertiga tengah duduk di salah satu bangku kantin. Kak Leon yang membuat aku dan Maya penasaran, memberikan kami sebuah jawaban atas rasa penasaran kami.
"Dika, adalah orang yang tidak banyak bicara ia pendiam. Dika memiliki kebiasaan menghabiskan waktunya di perpustakaan." Kak Leon terdiam ia menarik nafasnya dalam-dalam seolah tengah menahan rasa sedih. "Aku nyesel banget, karena ninggalin Dika sendiri di perpustakaan kala itu. andai saja aku tahu ada seseorang yang berniat mencelakai Dika, mungkin aku akan tetap berada disana. orang itu dan teman-temannya mengurung Dika di perpustakaan dan menyiksanya, hingga nyawa Dika tak terselamatkan." Jelas Kak Leon yang tangannya mengepal menahan marah.
Aku yang mendengar cerita itu berkaca-kaca mengingat pertama kali aku bertemu dengan Dika, Aku mulai sadar mengapa kali pertama bertemu dengannya ia memberiku ekspresi terkejut juga datar. akupun mulai paham setiap alasan keganjilan yang aku rasakan ketika aku bersama Dika.
"Baru ketahuan belakangan ini kalo ternyata mereka nyerang Dika, karena cewek incaran salahsatu dari mereka milih Dika dibanding mereka."
"Trus apa mereka di laporin ke polisi?" Tanya Maya yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
"Masalah itu di selesaikan secara kekeluargaan, orang tau Dika memaafkan mereka."
"Baik banget keluarga Dika."
Aku hanya terdiam dengan terus menahan isak tangisku dengan semua cerita yang Kak Leon utarakan.
Aku menatap kosong langit-langit kamarku, aku masih tidak percaya dengan kenyataannya. mendungnya langit malam itu, menambah sesak perasaanku. sedari sepulang sekolah tadi aku belum keluar kamar, aku mengunci diri dikamarku. Tiba-tiba aku terkejut dengan seseorang yang memanggil namaku dari luar. samar-samar aku melihat seseorang yang berdiri balkon kamarku. akupun bergegas menghampiri arah suara. dan aku terkejut ketika ku temui Dika disana. Ia tersenyum kearahku, aku tak memberinya senyuman aku hanya menatap datar dan menatap langit disampingnya. Ia yang berdiri disampingku melakukan hal yang sama.
"Kamu sudah tahu semuanya? aku kira kamu akan memintaku untuk pergi ketika aku memanggilmu."
Aku menoleh kearahnya lalu berkata "Karena aku mengenalimu, untuk apa aku memintamu untuk pergi. kamu tidak menakutkan, kamupun tidak menyakitiku."
"Aku berbeda denganmu. tapi apa aku boleh menyukaimu?" ucapnya yang masih menatap langit, Pertanyaannya cukup membuatku terkejut hingga aku menolehnya. ia hanya tersenyum melihat wajahku yang terkejut.
"Aku beruntung bisa bertemu denganmu, aku belajar banyak hal. dan buku-buku sastraku sebentar lagi akan terbit, berkat kamu." ucapku yang mengalihkan pembicaraan.
"Aku hanya membantu sebagian mimpiku yang belum pernah terwujud ketika aku hidup. terima kasih sudah membantuku." Kini aku dan dia tersenyum.
"Apa kamu benar-benar tidak takut dengan ku yang Leon ceritakan, kenapa aku meninggal dan lainnya.?"
"Untuk apa, toh kamu tidak menakutkan sama sekali." Kini ia tersenyum kembali mendengar jawabanku. "Besok aku akan pergi berkunjung ke pusaramu bareng Kak Leon."
Ia mengangguk dan mengatkan "Leon orang yang baik, kamu pantas untuk dia."
kali ini aku kembali menatapnya tidak percaya mendengar apa yang barusaja ia ucapkan. tiba-tiba hatiku rasanya membenci kalimat yang barusaja ia lontarkan untukku, hatiku menolak itu semua.
"Istirahatlah, besok kamu akan pergi menemuiku di rumah baruku." ucapnya dengan tersenyum.
Aku mengangguk, dan kembali tersenyum kearahnya.
Keesokan harinya Kak Leon berada di depan pintu rumahku, aku membuka pintu dan bergegas pergi bersamanya. namun tiba-tiba ia menahanku, dan menanyakan orang tuaku. Aku menatap sedikit keheranan dan tak lama memanggil Ibu yang duduk tak jauh dari pintu. Ibupun menghampiri kami berdua. aku terkejut ketika Kak Leon memperkenalkan dirinya dan meminta izin untuk membawaku pergi. ini kali pertama aku pergi bersama pria selain sepupu-sepupuku, aku terkejut karena kedewasaannya Kak Leon.
"Hati-hati ya, jangan pulang larut malem." Pesan ibu kepada aku dan Kak leon kamipun mengangguk mengiyakan.
Kami berjalan menyusuri komplek pemakaman, berjalan beriringan. Suasana disana sangat sepi hanya ada beberapa orang yang mengunjungi pusara kerabat mereka. tak lama kamipun tiba di pusara Dika. Pusaranya sangat bersih, juga terdapat beberapa bunga segar disampingya. Kak Leon bilang orang tua Dika pindah ke luar negeri setelah kejadian itu, namun mereka memerintahkan petugas pemakaman untuk selalu mengganti bunga di Pusara Dika dengan bunga-bunga segar. Aku menyimpan bunga yang ku bawa diatas pusaranya, setelah itu Aku dan Kak Leonpun berdoa, mendoakan Dika.
"Dika, Lu yang tenang ya disana. gue ikut seneng kalo lu disana seneng. Gue kaget ketika ternyata ada orang lain yang bisa bikin lu cair selain gue." Ucap Kak leon yang mengusap pusara Dika.
Aku hanya terdiam menatap apa yang Kak Leon lakukan walau sebenarnya, hatiku menyampaikan banyak kata untuk Dika.
"Kalau boleh jujur aku sedih, aku sakit menerima kenyataan ini. tapi kamu pernah bilang bahwa aku jangan pernah menyesali apapun yang pernah terjadi. namun bolehkah aku menyesal karena terlambat mengenalmu, akupun bingung dengan perasaan yang aku miliki ini. kamu bilang Kak Leon baik untukku, namun jika hatiku tertaut padamu. apa yang harus aku lakukan?" Tanyaku dalam hati.
"Kamu hanya perlu menerima, dan menjalaninya." Jawab Dika yang tiba-tiba muncul di sampingku.
Aku berteriak terkejut ketika menoleh ia yang kini berpakaian serba putih juga wajahnya yang semakin pucat. Kak Leon yang melihat aku terkejut memelukku menenangkanku, di dalam pelukan Kak Leon aku melihat dengan samar Dika tersenyum kearahku, entah apa yang ia maksud.
"Kamu ngga papa kan Gis?"
Aku melepaskan pelukannya lalu menganggukan kepalaku, ia tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku harian kecil berwarna abu-abu dan menyodorkannya kepadaku. Aku menatap heran Kak Leon sebelum akhirnya aku mengambilnya. aku membuka buku itu dan membaca sekilas beberapa kata didalam buku catatan itu.
"Itu buku catatan milik Dika. Dika pernah bilang kalo ia menyukai seorang wanita maka aku harus memberikan buku itu kepada wanita itu. dan sepertinya wanita itu kamu."
Aku menoleh kearah Kak Leon tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
"Ini memang klasik, terserah kamu mau menurutinya atau tidak. Dika pernah memintaku untuk berjanji melindungi, dan selalu ada untuk wanita yang ia sukai. ketika ia pergi." lanjutnya yang menambah bingung pikiranku.
Ketika aku tengah menatap Kak Leon heran, aku melihat Dika tersenyum dan mengangguk seolah itu memang benar adanya juga ia seolah memintaku menyetujui semuanya.
"Aku ngga maksa kamu buat bilang iya Gis. "
"Aku.. ngga mau Kak Leon merasa terbebani."
"Kita coba buat jalani semuanya ya Gis." Pinta Kak Leon.
Aku mengangguk perlahan, tak lama setelah itu kamipun mulai meninggalkan pusara Dika. Aku dan Kak Leon berjalan beriringan tangannya menggengam tanganku, aku sempat menatapnya sesaat wajahnya tersenyum kearahku hingga aku membiarkan tangannya menggenggam tanganku. Tanpa aku sadari tangan ku yang lain seolah tengah digenggam oleh seseorang lainnya dia adalah Dika, ia menggenggam tanganku dengan tangannya yang pucat. Aku menoleh kearahnya dengan wajah yang juga tersenyum.
Aku memang tidak akan pernah tahu maksud Tuhan, mengirimkan Dika sebelum akhirnya aku bertemu Kak Leon. namun aku yakin Tuhan punya alasan mengapa sesuatu yang aku pikir begitu berakhir begini. Terimakasih Dika telah mengisi hidupku beberapa bulan terakhir aku belajar banyak hal darimu, maaf untuk rasa yang tumbuh dari kenyamanan ketika bersama denganmu. Kamu bisa beristirahat dengan tenang, aku akan mengunjungimu sebisaku.