Thursday, December 27, 2018

Seorang Penakut dan Pemberani


Kamu pernah bertanya apa yang aku takuti, ketika kita sama-sama menapaki jalan setapak untuk berada di sebuah bukit tinggi maka aku menjawab aku tidak takut ketinggian.
Kamu pernah bertanya apa yang aku takuti, ketika kita sama-sama menyelam kedasar laut untuk melihat keindahan dasar laut maka aku menjawab aku menjawab aku tidak takut kedalaman.
Kamu pernah bertanya apa yang aku takuti, ketika aku mulai mencintai seseorang maka aku menjawab aku tidak takut untuk mencintai seseorang.

Namun seiring berjalannya waktu akupun mulai menyadari satu hal, Aku adalah seorang penakut.
Aku tak pernah takut berada di ketinggian tapi aku lupa sebenarnya aku takut jika sewaktu waktu aku terjatuh.
Aku tak pernah takut berada di kedalaman laut tapi aku lupa sebenarnya aku takut jika sewaktu-waktu aku tenggelam.
Akupun tak pernah takut untuk mencintai seseorang tapi aku lupa sebenarnya aku takut jika sewaktu-waktu aku kehilangan.

Aku menjadi seorang penakut, sungguh menjadi seorang penakut.
Setiap kali aku bersama denganmu aku merasa tak ada yang aku takuti namun ketika tak bersamamu  maka ketakutan itu menjadi hantu untukku, yang bahkan setiap harinya menakut-nakutiku. Menjadi seorang penakut membuatku tak bisa berpikir jernih, membuatku banyak memikirkan resiko yang kan terjadi setelahnya bahkan sebelum aku melaluinya.

Ulur kan tanganmu kapanpun ketika aku membutuhkan mu, ketika tiba-tiba aku tergelincir diatas bukit hingga membuatku hampir terjatuh, atau barangkali ketika tiba-tiba aku hilang kendali dan hampir tenggelam kau memeluk ku, membantu ku untuk segera kembali ke daratan. Atau mungkin ketika aku mulai kehilangan harapan untuk bisa berjuang di dekatmu kau merangkul ku memberiku semangat yang hampir hilang, dan membuatku kembali berjuang untuk mencintaimu.

Aku seorang penakut, yang takut akan kehilangan dirimu.
Aku tak peduli ketika aku harus takut untuk beberapa resiko terjatuh ketika mencintaimu.
Aku tak peduli ketika aku harus takut untuk beberapa resiko kehilanganmu.
sungguh aku tak peduli semua, karena mencintaimu membuatku menjadi seorang penakut sekaligus pemberani. yang terus berani menyangkal apa yang aku takutkan untuk terus berada disampingmu. aku menjadi seorang pemberani yang melawan rasa takut itu. termasuk ketakutanku untuk mencintaimu.

Aku harap ini semua bukan sebuah keberpura-puraan dari diriku, bukankah mencintai seseorang membuat kita lupa rasa takut, begitupula denganku. semoga ketika kamu menyadari akan semua ketakutan ku, kau terus berada disampingku membantuku melawan semua rasa ketakukanku hingga membuatku lupa bahwa aku memiliki ketakutan.









(Ketika rindu untuk memposting di blog, tapi otak seolah kehabisan kata-kata. akhirnya terciptalah beberapa kata random diatas. setidaknya membantuku melampiaskan rindu ini sedikit demi sedikit.)
Bagaimana jika kau yang ku harapkan menjadi obat segala ketakutanku, dengan tega pergi dan malah menghilang ? membuat segala ketakutan menyeruak, membuat dada sesak dan bibir yang sulit berkata. atau barangkali juga dengan airmata yang tak ingin berhenti mengalir.

Thursday, December 20, 2018

Perjuangkan Ia Yang Memperjuangkanmu


Pernahkah kamu merasakan hal seperti ini?
Merasakan perasaan yang kamu sendiri tak tahu apa namanya, ketika tiba-tiba seseorang yang kamu kenal cukup dekat denganmu mencoba melangkah lebih dekat padamu. menginginkan sebuah status yang melebihi seorang teman,  memberi beberapa perhatian yang hanya kamu dapatkan ketika ia bersungguh-sungguh berniat melangkah untuk mendekat. namun yang kamu rasakan adalah sebuah keanehan, karena kamu tidak ingin merusak pertemanan yang telah lama kalian bangun dari lama.

Dengan keegoisanmu, kamu membiarkan ia berjuang sendiri dan membuatnya berada di dalam ketidakpastian. tanpa kamu sadari, kamu merasakan sebuah kenyamanan dengan perhatian yang ia berikan. Lantas mengapa kamu tidak mengulurkan tanganmu untuk membantunya melangkah lebih dekat. Bukankah jika sama-sama melangkah lebih dekat kalian akan semakin dekat, mengapa kamu membiarkan ia melangkah mendekat dan kamu hanya berdiam menikmati semuanya, tanpa kamu memikirkan perjuangannya.

Ia yang mencoba bertahan untuk tetap melangkah berada di dekatmu, mulai merasakan apa yang ia lakukan tak membuatmu mengikuti langkahnya. Bahkan ia mulai merasakan kamu tidak sama sekali menghargai semua usahanya. hingga akhirnya ia memilih untuk melangkah mundur menjauh meninggalkan kamu sendiri. dan ketika ia telah pergi jauh , kamu marah, kamu kesal, kamu bahkan membencinya karena kamu merasa ia sama sekali tidak benar-benar tulus ingin berada didekatmu dan tidak benar-benar berniat mendekat. kamu masih saja egois,  kamu masih saja mengeluh dan merutuki kepergiannya yang secara tiba-tiba.

Bukankah sebelum ia pergi ia memberi tahumu bahwa ia telah menyerah, maka kamu tidak perlu merutuki kepergiannya lagi. kamu merasakan sebuah kesakitan, karena kenyamanan yang kamu miliki bersamanya kini hilang. apa yang akan kamu sesali ? apa kamu menyesali karena membuatnya berada di dalam ketidakpastian selama itu, atau kamu masih dengan egois mengatakan bahwa ia memang tak pantas untuk berada dekat denganmu.?

Bagaimana rasanya ? sakit bukan? lantas mengapa kamu tidak menghargai setiap usahanya? mengapa kamu membiarkan ia berjuang sendiri ?

kamupun mulai merasakan bahwa kamu memang merasakan kenyamanan itu dan bukan hanya itu kamu mulai merasakan bahwa sebenarnya dalam hati kecilmu, ia adalah orang yang cukup penting dalam hidupmu. Kamu dapati fakta lain ia telah bersama seseorang lain yang dapat menghargai perasaan dia dan memberinya sebuah kenyamanan yang tak pernah ia dapatkan ketika bersamamu. Lantas dengan egoisnya kamu mengatakan bahwa mereka tidak akan bahagia, karena ia bukankah masih ingin mendekat kepadamu. Kamu melupakan satu hal bahwa hati manusia dapat cepat berubah, hati manusia dapat berbalik setelah merasakan sebuah kesakitan.

Kamupun menyadari untuk membuat ia dekat denganmu lagi adalah sesuatu yang amat sulit, hingga akhirnya kamu dipaksa untuk menyerah dan menerima takdir. kamu terus memeluk kenangan bersamanya, mengenang semuanya bukankah itu membuat dirimu jauh lebih sakit. mengapa kau menyiksa dirimu dengan kenyataan itu. lepaskan kenangan itu semua dan mulailah kembali memeluk dirimu. maafkanlah keegoisan yang ada pada dirimu, maafkan lah semua yang mendorongmu untuk membiarkannya berjuang sendiri ketika itu.

Kamu melupakan satu hal, bukankah mudah jika kita membantu seseorang yang tengah berjuang untuk kita. membantunya, mengulurkan tangan untuk bersama-sama dengannya. bukan hanya dengan menikmati setiap proses tanpa tahu apa saja yang ia lalui sebelum sampai pada titik benar-benar dekat. penyesalan itu memang seharusnya ada, tapi biarkan ia menjadi sebuah pelajaran agar kelak ketika ada seseorang yang mulai berjuang untukmu kau mengulurkan tanganmu dan membantunya bersama-sama berjuang. Menikmati setiap proses dalam berjuang lebih baik dari pada menikmati keberhasilan tanpa tahu proses sebelumnya.

Semoga tak ada lagi perjuangan tanpa tangan yang membantu untuk bersama-sama berjuang. semoga tak ada lagi sakit dan hati yang jadi perca-perca karena sebuah penyesalan. Perjuangkanlah ia yang tengah memperjuangkanmu, walau ia memperjuangkanmu dalam diam. maka bantulah ia berjuang dengan doa yang kau kirim kepada pemilik hati. Ini bukan akhir dari segalanya, sadarlah mungkin Tuhan sedang menjodohkan orang lain yang jauh lebih baik darinya untukmu. maka tunggulah saat itu, dan tunjukan bahwa kau memang pantas untuk di perjuangkan.





"Ini hanya nasihat kecil untuk diriku sendiri, terus belajar menerima apapun yang telah Tuhan takdirkan untukku."

Bandung,20 Desember 2018
Ketika mentari perlahan menampakan sinarnya di sela-sela ranting dan dedaunan di suasana pagi hari..

Wednesday, December 19, 2018

Terimakasih Untuk Rasa Yang Ku Beri Nama Kenyamanan

"Jadi ini perpustakaan sekolah, cukup besar sih tapi jarang banget di pake siswa. ya ada beberapa siswa aja yang sering kesini. ngga banyak yang ngabisin waktu disini. karena katanya perpustakaan sekolah angker." Ucap murid perempuan yang berjalan beriringan disampingku. ia menjelaskan satu persatu ruangan yang kami lewati disekolah.
"Angker?" tanyaku yang mulai penasaran, karena aku adalah orang yang sering menghabiskan waktu di toko buku atau perpustakaan dan kata angker yang ia sematkan ketika menjelaskan perpustakaan sekolah cukup menarik perhatianku.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ia mengambil ponselnya setelah itu wajahnya terlihat panik. "Gista, aku tinggal ngga papa? Aku lupa ada rapat Osis."
Aku mengangguk mengiyakan dengan senyum di bibirku.
"Ngga papa ya, kamu keliling sendiri."
"Iya ngga papa Maya. aku mau langsung ke perpustakaan aja"
Maya mengangguk mengiyakan "Perpus tutup jam lima sore jadi kamu masih punya banyak waktu kalo mau tetep disana." Maya sangatlah ramah, ini adalah hari pertama aku kembali kesekolah, aku murid pindahan. walau aku murid baru, maya memperlakukanku sangat ramah seolah aku dan dia telah mengenal lama. "Kalo gitu aku duluan ya."

Setelah Maya pergi, akupun mulai memasuki perpustakaan sekolah. suasana disana sangat sepi selain tempatnya yang berada di belakang sekolah, juga di penuhi banyak pepohonan menambah sunyi di dalam ruangan. namun entahlah, aku menyukai suasana itu seolah tengah berada di alam terbuka. Memang benar hanya ada beberapa murid yang berada di dalam itupun mereka hanya meminjam buku dan pergi membawa buku itu keluar perpustakaan. aku pun memasuki lorong buku sastra, aku adalah pencinta sastra hingga yang pertama kali aku cari adalah buku-buku sastra.

Setelah aku menemukan apa yang aku cari aku berniat untuk duduk disalahsatu bangku baca di perpustakaan, ketika aku menemukan tempat yang tepat untukku. Aku menyadari ada siswa lain disana, seorang murid laki-laki yang duduk di ujung bangku baca. Aku tidak begitu jelas melihatnya karena wajahnya tertutup beberapa buku disampingnya. akupun melanjutkan niatku untuk membaca beberapa buku sastra.

Beberapa hari setelah itu, aku mulai meluangkan waktuku untuk pergi ke perpustakaan. karena setiap aku pergi kesana aku selalu menemukan dia yang duduk ditempat yang sama. aku mulai penasaran dengannya, hingga aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Ia terlihat terkejut ketika aku menyapanya. Wajahnya juga kulitnya terlihat sangat pucat, ia memiliki rambut yang sedikit ikal juga mata yang sayu. Aku tersenyum kearahnya, ia tak memberi ekspresi lain kepadaku selain memperlihatkan wajah datarnya. Aku menjadi merasa bersalah karena mengganggu waktu membacanya, aku pun meminta maaf dan berniat kembali ke bangku ku. namun tiba-tiba tangannya menahanku, aku terkejut dan menoleh kearahnya.

"Duduklah dismpingku." Ucapnya yang tak lama melepaskan tangannya dariku.
Aku tersenyum mendengar apa yang ia ucapkan, akupun duduk disampingnya. "Boleh aku bertanya, kenapa hampir setiap hari kamu ada di perpustakaan?" Tanyaku yang mulai penasaran.
Ia menoleh kearahku memberi wajah tanpa ekspresinya, tak lama ia menjawab "ini tempatku, aku suka membaca." 
Aku kembali tersenyum, "Aku Gista. Gista Anastasya anak IPA II. kamu ?" Ucapku yang menyodorkan tangan untuk berkenalan dengannya.
Ia menoleh kearah tanganku, dan tak lama menatap kearahku dengan wajah yang tanpa ekspresi. "Dika" ucapnya yang tak menyambut tanganku.

Setelah perkenalan itu, aku semakin sering berkunjung ke perpustakaan. bukan hanya itu bahkan ia mulai datang kedalam pikiranku, terkadang menjadi inspirasiku untuk membuat sebuah puisi atau prosa lainnya. terkadang juga aku merasa bersemangat setiap kali pulang sekolah dan pergi menemuinya di perpustakaan. namun ia masih belum berubah ia masih tetap sama, memandangku tanpa ekspresi, juga dengan wajahnya yang pucat itu.
"Ternyata kita punya kesukaan yang sama, sama-sama suka sastra." Ucapku kepadanya ketika ia tengah membaca sebuah buku sastra.
Ia menoleh kearahku sesaat, dengan tatapan dingin dari matanya yang sayu. tak lama ia kembali melanjutkan bacaannya.

Aku untuk kesekian kalinya terus menghabiskan waktuku di perpustakaan hingga perpustakaan tutup. namun selama itu juga, perasaan aku terus terasa sangat kacau, aku sedikit merasakan perasaanku yang gelisah ketika didekatnya. sesekali aku mencuri pandangan kearahnya dari samping, menatapnya dari samping tanpa terhalangi buku-buku yang biasa menutupi sebagian wajahnya. Tiba-tiba senyum hadir menghiasi wajahku. Aku terus menatapnya, tanpa aku sadari kini iapun menoleh kearahku dan berbalik menatapku. Tak lama aku menyadarinya dan langsung berpura-pura kembali membaca buku-bukuku. Pipiku rasanya sangat merah menahan rasa malu, ia masih menatapku dan membuatku jadi salah tingkah.

Aku terkejut ketika tiba-tiba ia tertawa, akupun langsung menoleh kearahnya mengamati setiap tawa yang hadir sore itu. ia yang menyadari aku terkejut dengan tawanya, mulai tersenyum kearahku.
"Ini perpustakaan bukan tempat buat pacaran atau pdkt-an." Ucapnya yang seolah tengah meledekku.
Aku mendengar ucapannya langsung mengernyitkan dahi dan bertanya apa maksud dari ucapannya. namun ia tersenyum sesaat kembali melanjutkan membaca buku-bukunya. kini aku mulai tersenyum, rasanya aku merasakan sebuah kebahagiaan karena akhirnya ia menampilkan ekspresi lain. Wajahnya terlihat tampan ketika ia tengah tersenyum bahkan ketika ia tertawa dengan wajahnya yang pucat dan matanya yang sayu menambah menarik wajahnya untuk terus di tatap.

Ketika tengah asik bercengkrama dengan Dika, tiba-tiba aku teringat pesan ibu yang memintaku untuk pulang cepat. Akupun bergegas keluar perpustakaan meninggalkan Dika. ketika melewati koridor yang tak jauh dari perpustakaan, tanpa sengaja aku menabrak seorang siswa, aku terjatuh namun tidak dengan ia.
"Maaf kak." ucapku yang meminta maaf. dan tak lama aku kembali berjalan terburu-buru menuju gerbang sekolah.

Kurang lebih tiga minggu aku tidak mengunjungi perpustakaan kembali, karena kesibukanku yang tengah ujian tengah semester juga karena terhalang waktu liburan sekolah. selama itu dia terus berada dalam pikiranku, sampai suatu malam aku dikagetkan dengan suara kerikil yang menghantam jendela kamarku. Aku bergegas memastikan dengan menoleh keluar rumah dari dalam jendela. samar-samar aku melihat ada seorang pria berpakaian sekolah berdiri membelakangi gerbang rumahku, seolah tengah menunggu seseorang. tanpa pikir panjang aku bergegas keluar rumah untuk menghampirinya karena aku sadar pria itu adalah Dika.

Dika tersenyum kearahku, ketika aku tiba dihadapannya. begitupun denganku yang juga tersenyum kearahnya karena dapat kembali bertemu dengannya. Akupun mulai merasakan degup jantung yang tak beraturan setiap kali bertemu dengannya, dan itu membuatku bertanya pada diriku. Apakah aku  jatuh cinta padanya atau apa?
"Darimana kamu bisa tahu rumahku?" Tanyaku kepadanya.
Ia tersenyum lalu berkata "Aku mengikutimu."
Aku tersenyum seolah tak percaya dengan apa yang ia katakan "Kenapa malam-malam kamu pake seragam sekolah?" Tanyaku yang mulai penasaran, mengapa ia memakai baju seragam padahal ini masih libur sekolah. dan sekolah akan kembali di mulai senin depan.

Kembali Dika tersenyum, "Aku takut kamu tidak mengenaliku."
Aku hanya tertawa mendengar ucapannya, "Aku mengenalimu. so kenapa kamu bisa datang kesini?"
"Aku merindukanmu."
Ucapan Dika itu sukses membuatku terkejut dan mengernyitkan dahi, aku hanya tertawa tersipu malu di depannya. "Kalo gitu masuk dulu, kita ngobrol di dalem." Ucapku yang mengajaknya untuk memasuki rumahku.
"Aku hanya ingin melihatmu, sekarang kembalilah kedalam rumah. orang tuamu akan menghawatirkanmu, jika kamu masih disini." Ucap Dika.
Aku tersenyum mengangguk lalu mulai berpamitan untuk kembali kedalam rumah aku berjalan mundur dengan tangan yang terus melambai kearahnya, dan ia yang tersenyum dengan sesekali membalas lambaian tanganku. Entah mengapa aku merasa sangat bahagia karena dapat bertemu dengannya. Akupun berbalik dan berjalan seperti biasanya, ketika akan memasuki rumah aku berhenti, dan berbalik untuk kembali menatap Dika. Namun ketika aku berbalik Dika sudah menghilang darisana.

Keesokan harinya, Maya yang mengetahui kebiasaanku yang menghabiskan waktu sepulang sekolah di perpustakaan. mulai menaruh rasa penasaran karena dihari pertama kembali ke sekolah, aku berniat menghabiskan waktuku di perpustakaan seperti biasa. itulah yang membuat Maya penasaran, bahkan ia penasaran akan sosok siswa yang biasa menemaniku, membuatku ingin terus berlama-lama di perpustakaan. hingga akhirnya sepulang sekolah kali ini dia meluangkan waktunya untuk menemaniku juga menemui siswa itu, yang tak lain adalah Dika. setibanya kami di perpustakaan, aku tak menemukan Dika disana. dan itu sungguh membuatku terheran-heran, karena setiap hari Dika selalu ada disana.

"Mungkin hari ini dia ngga masuk sekolah, atau mungkin dia pulang duluan."
"Atau mungkin juga, dia tahu aku datang kesini karena penasaran sama Dia jadi dia ngga dateng. nambah misterius banget sih." Ucap Maya yang terlihat kesal.
"Maaf May, next time aku kenalin kamu sama dia ya."
"Kalo aku boleh tau namanya siapa? Aku kan anggota Osis nih. kali aja aku tahu kelas berapa dia. anak IPA apa IPS kan."
"Namanya Dika." ucapku yang kembali berjalan beriringan dengan Maya keluar perpustakaan.

Ketika melewati lorong perpustakaan aku kembali menabrak seseorang, dan ternyata orang itu adalah orang yang sama yang pernah aku tabrak. kali ini aku tidak terjatuh karena tangannya yang menahan badanku. dan Maya yang melihatnya hanya diam tanpa ekspresi.
"Lain kali kalo jalan jangan buru-buru kan nabrak lagi. untung aku yang di tabrak." Ucapnya.
"Maaf Kak."
"Kak Leon udah kenal sama Gista." Ucap Maya yang ternyata mengenal pria itu.

Pria itupun menceritakan kejadian yang lalu, dan membuat aku terus menunduk malu juga membuat Maya terus menganggukan kepalanya, seolah paham dengan ceritanya.
"Oh iya, ini milik kamu bukan?" Tanya Kak Leon yang menyodorkan sebuah buku kecil bersampul batik berwarna coklat.
"iya." Ucapku yang mengambil buku tersebut.
"Buku itu kenapa ada di bangku yang biasa Dika tempatin? kamu duduk disana?" Tanyanya.
Aku yang mendengar pertanyaan itu lalu menjelaskan, "kemarin buku ini di pinjem Dika, aku lupa ngga ngambil buku ini dari Dika. karena aku buru-buru pulang."
"Dika minjem buku kamu? Mustahil banget." Ucap Kak Leon yang membuat aku dan Maya saling menatap satu sama lain.

"Dika itu sahabat baikku. kami sudah seperti keluarga. Orang tua kami sama-sama saling menganggap kami bersaudara karena kedekatan kami sejak kecil." Ucap Kak Leon yang mulai menceritakan perihal soal Dika. Kami bertiga tengah duduk di salah satu bangku kantin. Kak Leon yang membuat aku dan Maya penasaran, memberikan kami sebuah jawaban atas rasa penasaran kami.

"Dika, adalah orang yang tidak banyak bicara ia pendiam. Dika memiliki kebiasaan menghabiskan waktunya di perpustakaan." Kak Leon terdiam ia menarik nafasnya dalam-dalam seolah tengah menahan rasa sedih. "Aku nyesel banget, karena ninggalin Dika sendiri di perpustakaan kala itu. andai saja aku tahu ada seseorang yang berniat mencelakai Dika, mungkin aku akan tetap berada disana. orang itu dan teman-temannya mengurung Dika di perpustakaan dan menyiksanya, hingga nyawa Dika tak terselamatkan." Jelas Kak Leon yang tangannya mengepal menahan marah.
Aku yang mendengar cerita itu berkaca-kaca mengingat pertama kali aku bertemu dengan Dika, Aku mulai sadar mengapa kali pertama bertemu dengannya ia memberiku ekspresi terkejut juga datar. akupun mulai paham setiap alasan keganjilan yang aku rasakan ketika aku bersama Dika.

"Baru ketahuan belakangan ini kalo ternyata mereka nyerang Dika, karena cewek incaran salahsatu dari mereka milih Dika dibanding mereka."
"Trus apa mereka di laporin ke polisi?" Tanya Maya yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
"Masalah itu di selesaikan secara kekeluargaan, orang tau Dika memaafkan mereka."
"Baik banget keluarga Dika."
Aku hanya terdiam dengan terus menahan isak tangisku dengan semua cerita yang Kak Leon utarakan.

Aku menatap kosong langit-langit kamarku, aku masih tidak percaya dengan kenyataannya. mendungnya langit malam itu,  menambah sesak perasaanku. sedari sepulang sekolah tadi aku belum keluar kamar, aku mengunci diri dikamarku. Tiba-tiba aku terkejut dengan seseorang yang memanggil namaku dari luar. samar-samar aku melihat seseorang yang berdiri balkon kamarku. akupun bergegas menghampiri arah suara. dan aku terkejut ketika ku temui Dika disana. Ia tersenyum kearahku, aku tak memberinya senyuman aku hanya menatap datar dan menatap langit disampingnya. Ia yang berdiri disampingku melakukan hal yang sama.

"Kamu sudah tahu semuanya? aku kira kamu akan memintaku untuk pergi ketika aku memanggilmu."
Aku menoleh kearahnya lalu berkata "Karena aku mengenalimu, untuk apa aku memintamu untuk pergi. kamu tidak menakutkan, kamupun tidak menyakitiku."
"Aku berbeda denganmu. tapi apa aku boleh menyukaimu?" ucapnya yang masih menatap langit, Pertanyaannya cukup membuatku terkejut hingga aku menolehnya. ia hanya tersenyum melihat wajahku yang terkejut.
"Aku beruntung bisa bertemu denganmu, aku belajar banyak hal. dan buku-buku sastraku sebentar lagi akan terbit, berkat kamu." ucapku yang mengalihkan pembicaraan.
"Aku hanya membantu sebagian mimpiku yang belum pernah terwujud ketika aku hidup. terima kasih sudah membantuku." Kini aku dan dia tersenyum.

"Apa kamu benar-benar tidak takut dengan ku yang Leon ceritakan, kenapa aku meninggal dan lainnya.?"
"Untuk apa, toh kamu tidak menakutkan sama sekali." Kini ia tersenyum kembali mendengar jawabanku. "Besok aku akan pergi berkunjung ke pusaramu bareng Kak Leon."
Ia mengangguk dan mengatkan "Leon orang yang baik, kamu pantas untuk dia."
kali ini aku kembali menatapnya tidak percaya mendengar apa yang barusaja ia ucapkan. tiba-tiba hatiku rasanya membenci kalimat yang barusaja ia lontarkan untukku, hatiku menolak itu semua.
"Istirahatlah, besok kamu akan pergi menemuiku di rumah baruku." ucapnya dengan tersenyum.
Aku mengangguk, dan kembali tersenyum kearahnya.

Keesokan harinya Kak Leon berada di depan pintu rumahku, aku membuka pintu dan bergegas pergi bersamanya. namun tiba-tiba ia menahanku, dan menanyakan orang tuaku. Aku menatap sedikit keheranan dan tak lama memanggil Ibu yang duduk tak jauh dari pintu. Ibupun menghampiri kami berdua. aku terkejut ketika Kak Leon memperkenalkan dirinya dan meminta izin untuk membawaku pergi. ini kali pertama aku pergi bersama pria selain sepupu-sepupuku, aku terkejut karena kedewasaannya Kak Leon.
"Hati-hati ya, jangan pulang larut malem." Pesan ibu kepada aku dan Kak leon kamipun mengangguk mengiyakan.

Kami berjalan menyusuri komplek pemakaman, berjalan beriringan. Suasana disana sangat sepi hanya ada beberapa orang yang mengunjungi pusara kerabat mereka. tak lama kamipun tiba di pusara Dika. Pusaranya sangat bersih, juga terdapat beberapa bunga segar disampingya. Kak Leon bilang orang tua Dika pindah ke luar negeri setelah kejadian itu, namun mereka memerintahkan petugas pemakaman untuk selalu mengganti bunga di Pusara Dika dengan bunga-bunga segar.  Aku menyimpan bunga yang ku bawa diatas pusaranya, setelah itu Aku dan Kak Leonpun berdoa, mendoakan Dika.
"Dika, Lu yang tenang ya disana. gue ikut seneng kalo lu disana seneng. Gue kaget ketika ternyata ada orang lain yang bisa bikin lu cair selain gue." Ucap Kak leon yang mengusap pusara Dika.
Aku hanya terdiam menatap apa yang Kak Leon lakukan walau sebenarnya, hatiku menyampaikan banyak kata untuk Dika.

"Kalau boleh jujur aku sedih, aku sakit menerima kenyataan ini. tapi kamu pernah bilang bahwa aku jangan pernah menyesali apapun yang pernah terjadi. namun bolehkah aku menyesal karena terlambat mengenalmu, akupun bingung dengan perasaan yang aku miliki ini. kamu bilang Kak Leon baik untukku, namun jika hatiku tertaut padamu. apa yang harus aku lakukan?" Tanyaku dalam hati.
"Kamu hanya perlu menerima, dan menjalaninya." Jawab Dika yang tiba-tiba muncul di sampingku.
Aku berteriak terkejut ketika menoleh ia yang kini berpakaian serba putih juga wajahnya yang semakin pucat. Kak Leon yang melihat aku terkejut memelukku menenangkanku, di dalam pelukan Kak Leon aku melihat dengan samar Dika tersenyum kearahku, entah apa yang ia maksud.

"Kamu ngga papa kan Gis?"
Aku melepaskan pelukannya lalu menganggukan kepalaku, ia tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku harian kecil berwarna abu-abu dan menyodorkannya kepadaku. Aku menatap heran Kak Leon sebelum akhirnya aku mengambilnya. aku membuka buku itu dan membaca sekilas beberapa kata didalam buku catatan itu.
"Itu buku catatan milik Dika. Dika pernah bilang kalo ia menyukai seorang wanita maka aku harus memberikan buku itu kepada wanita itu. dan sepertinya wanita itu kamu."
Aku menoleh kearah Kak Leon tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
"Ini memang klasik, terserah kamu mau menurutinya atau tidak. Dika pernah memintaku untuk berjanji melindungi, dan selalu ada untuk wanita yang ia sukai. ketika ia pergi." lanjutnya yang menambah bingung pikiranku.

Ketika aku tengah menatap Kak Leon heran, aku melihat Dika tersenyum dan mengangguk seolah itu memang benar adanya juga ia seolah memintaku menyetujui semuanya.
"Aku ngga maksa kamu buat bilang iya Gis. "
"Aku.. ngga mau Kak Leon merasa terbebani."
"Kita coba buat jalani semuanya ya Gis." Pinta Kak Leon.
Aku mengangguk perlahan, tak lama setelah itu kamipun mulai meninggalkan pusara Dika. Aku dan Kak Leon berjalan beriringan tangannya menggengam tanganku, aku sempat menatapnya sesaat wajahnya tersenyum kearahku hingga aku membiarkan tangannya menggenggam tanganku. Tanpa aku sadari tangan ku yang lain seolah tengah digenggam oleh seseorang lainnya dia adalah Dika, ia menggenggam tanganku dengan tangannya yang pucat. Aku menoleh kearahnya dengan wajah yang juga tersenyum.

Aku memang tidak akan pernah tahu maksud Tuhan, mengirimkan Dika sebelum akhirnya aku bertemu Kak Leon. namun aku yakin Tuhan punya alasan mengapa sesuatu yang aku pikir begitu berakhir begini. Terimakasih Dika telah mengisi hidupku beberapa bulan terakhir aku belajar banyak hal darimu, maaf untuk rasa yang tumbuh dari kenyamanan ketika bersama denganmu. Kamu bisa beristirahat dengan tenang, aku akan mengunjungimu sebisaku. 

Thursday, December 13, 2018

Berbahagialah Dengan Takdir Yang Tuhan Berikan

Aku telah menghabiskan lima tahun waktuku untuk tidak berkomunikasi denganmu bahkan selama itu akupun belajar untuk tak mau tahu lagi tentangmu, juga orang-orangmu. Aku membuang semua kenangan yang pernah kita ukir bersama selama satu tahun. Aku terus membiasakan diri tanpa kamu, dan merasa bahwa selama itu aku bisa tanpa kamu. Aku berusaha sangat keras untuk menerima kenyataan, menerima takdir yang tengah Tuhan siapkan untukku. Aku menghabiskan waktuku dengan kesibukan yang aku miliki hanya untuk menghilangkan kamu dalam pikiranku. aku berpikir aku sudah benar-benar melupakanmu namun nyatanya semua pikiran tentangmu kembali meluap kepermukaan ketika aku kembali bertemu denganmu.

Sore itu ditengah waktuku menunggu kereta untuk kembali ke Bandung, setelah satu minggu aku menghabiskan waktu kerja ku di Jakarta. Aku menemukan Pria yang sosoknya menyerupaimu yang duduk tak jauh dari tempatku menunggu, di ruang tunggu Stasiun. Pria itu berpakaian rapi dengan sebuah kacamata yang menghiasi wajahnya. Ia terlihat tengah menunduk fokus kearah laptop yang tengah ia mainkan. Aku terus mengamati pria itu dari samping dengan berharap itu bukan kamu, walau sebenarnya dalam hati kecilku aku berharap itu memang benar kamu.

Tak lama suara pemberitahuan untuk segera memasuki gerbong keretapun terdengar, akupun bergegas menuju gerbong yang telah aku pesan dan mencocokannya dengan tiketku. setelah menemukannya akupun duduk di bangku itu. Aku duduk di dekat jendela dan menikmati suasana luar dari dalam jendela kereta. tak berselang lama seseorang datang dan berniat duduk di bangku sebelahku, Aku yang menyadari kursi sebelahku akan terisi pun menoleh kearah seseorang yang duduk disampingku. Betapa terkejutnya aku ketika orang itu adalah kamu, dan itu artinya pria yang aku pikir mirip sosokmu memang benar adalah kamu.

Begitupun dengan kamu yang juga terkejut karena kita bertemu lagi, juga karena posisi dudukmu yang berada tepat disampingku. Aku langsung memalingkang wajahku karena tiba-tiba jantungku kembali berdetak seperti dahulu, ketika pertama kali aku bertemu denganmu. Aku tak tahu apa kau merasakan hal yang sama denganku ataukah tidak sama sekali. Aku kembali menoleh kearahmu, memastikan bahwa itu memang kamu.
Kamu mulai tersenyum kearahku lalu berkata. "Ini aku Rayen. Ngga nyangka bisa ketemu kamu."
Aku mencoba membalas senyumanmu itu, dengan perasaan  yang tiba-tiba rasanya sangat kacau.

Tiba-tiba hening menyerang kita berdua, tidak ada percakapan pemulai obrolan ketika tengah di perjalanan. Aku hanya diam kamupun sama, hingga akhirnya aku mencoba mencairkan suasana.
"Kamu apa kabar? lagi sibuk apa?" Tanyaku yang mencoba mencairkan suasana.
"Aku baik, aku mulai merintis usaha kecil-kecilan di Bandung. Kamu sendiri?" 
"Aku baik juga. lagi sibuk ngisi seminar aja. Oh iya gimana Fina ?" Ucapku yang entah mengapa rasanya tak lengkap jika tak menanyakan ia ketika aku bisa kembali bertemu denganmu. Bagaimanapun juga Fina ada hubungannya dengan hubungan kita yang lalu. 
Kamu menoleh kearahku seolah terkejut dengan apa yang aku tanyakan. 
"Oh Maaf aku salah ngomong ya." Ucapku yang perlahan menutup mulutku dengan kedua tanganku dan mulai memalingkan kembali wajahku kearah jendela.

Kamu sekilas tersenyum. "Kamu memang tidak berubah, tidak apa-apa. Aku dan Fina tidak jadi menikah." Ucapmu singkat yang langsung membuatku kembali menoleh kearahmu. Kamu terlihat santai dengan wajah yang masih tersenyum.
Aku menatapmu dengan wajah yang terkejut. Aku masih ingat betul, saat itu hubungan kita memang tengah mengalami pasang surut juga karena kesibukan kita masing-masing hingga kita tidak memiliki waktu untuk bersama. bahkan sangat sulit untukku meluangkan waktuku untuk kita bersama. Aku tak tahu pastinya, yang aku tahu di satu tahun hubungan kita, kamu tiba-tiba memberitahuku tentang Fina. wanita yang ternyata mengisi hari-harimu selain aku, ketika hubungan kita tengah diterpa ketidakjelasan.

Akupun masih ingat aku memintamu untuk memilih aku atau Fina. kamu memilih aku, bahkan kamu mengatakan itu di depan aku dan kedua orangtuaku, bodohnya aku memberimu kesempatan lagi saat itu. walau itu sempat membuatku bertanya ulang pada diriku mengapa mudah untukku memberimu maaf dan memberimu kesempatan lagi. kaupun berjanji untuk meninggalkan Fina, dan tidak akan melakukan hal yang sama lagi padaku. Namun tak lama setelah keputusanmu, Fina datang menemuiku dikampus, Matanya sembab seolah telah menangis semalaman. Wajahnya sangat pucat, ia memintaku untuk melepaskanmu, memintaku untuk memberikanmu padanya. tentu saja aku menolak semua, karena bagaimanapun kamu telah memilih aku bukan Fina. 

Tak lama Fina kehilangan kesadarannya, ia pingsan persis di depanku. Aku dengan segera membawanya ke Rumah sakit. dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa Fina ternyata tengah mengandung. Aku sempat menebak-nebak semua walau kenyataannya aku tak ingin pernah berada di dalam situasi seperti itu. Ketika Fina telah sadar ia dengan air mata yang terus mengalir menangis dan mengakui sesuatu hal yang sungguh membuatku sangat membencimu. ya ia mengatakan bahwa anak yang ada dalam kandungannya adalah anakmu. Sungguh rasanya Duniaku hancur berkeping-keping. Kepercayaan yang telah ku bangun kembali untukmu rusak seketika. Sakit sekali rasanya. Bagiku saat itu kamu dan Fina adalah dua orang manusia terjahat di Dunia.

Setelah kejadian itu aku sangat hancur, bahkan aku berjanji pada diriku sendiri untuk tak pernah ingin tahu lagi tentangmu, tentang orang-orangmu, atau siapapun yang ada hubungannya denganmu. Aku bahkan pindah keluar negeri selama kurang lebih lima tahun untuk melanjutkan sekolahku dan membuat diriku sangat sibuk. bahkan untuk mengisi seminar-seminar kini aku jalani hanya karena aku tak ingin kembali mengingatmu. semua tentangmu harus aku buang. namun ketika bertemu denganmu sungguh aku kembali dapati diriku yang tengah merindukan saat-saat bersamamu.

"Kenapa? Bukankah.." Tanyaku yang mulai penasaran.
Namun tiba-tiba kamu memotong pertanyaanku "Fina berbohong pada kita semua. aku benar-benar tidak pernah merusak Fina. dan kenyataannya memang begitu. Ternyata ada pria lain yang merusak Fina, namun ia tak ingin mengakuinya. dan Finapun terpaksa, memutuskan untuk meminta aku yang bertanggung jawab atas semua kesalahannya. Karena masalah ini, aku harus menanggung semua kehilangan wanita baik sepertimu, juga semua mimpi yang pernah aku bangun. Aku menyerah dan berniat untuk mengikuti semua takdir itu. Aku kira semua akan berjalan sesuai rencana, aku memaafkan Fina dan berusaha sebaik mungkin menjadi suami dan ayah untuk anaknya kelak. Namun rencana Tuhan memang berbeda. Fina menemui pria itu lagi karena pria itu belum sepenuhnya ikhlas Fina akan menikah denganku. Ia membawa Fina pergi namun di perjalanan mobil mereka mengalami kecelakaan. Fina, pria itu juga bayinya tidak terselamatkan. mereka meninggal di tempat kejadian." Jelasmu yang juga secara tidak langsung menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang masih ada dalam diriku.

Mendengar apa yang kamu ceritakan sungguh aku sangat terkejut mendapati fakta sebenarnya. Aku memang tak yakin kamu pelakunya, namun bukankah saat itu aku tengah membencimu, sangat teramat membencimu hingga amarah yang menguasaiku dan membuatku menutup semua pintu komunikasi dan kejelasan darimu. kamu mungkin tidak pernah tahu aku selalu kesal pada diriku ketika tiba-tiba merindukanmu, satu hal yang membuatku bisa bertahan tanpa kamu karena aku yakin kamupun tengah bahagia dengan keluarga kecil dan kehidupan barumu. Rasanya Tuhan memang tengah menguji kita berdua. Menguji kita yang harus belajar ikhlas untuk menerima semua ujian dan kenyataan yang telah Tuhan pilihkan untuk mengisi warna dalam hidup kita. Kita berdua nyatanya tengah di didik Tuhan, untuk terus mengikuti skenarionya.
"Maaf. Aku udah kecewain kamu. aku tahu kamu pasti kecewa banget sama aku. Aku datang kerumah kamu pas kamu bilang kita putus. bahkan hampir setiap hari sepulang kerja aku ke rumahmu. namun aku tak pernah menemukanmu. kamu tiba-tiba menghilang begitu saja, kamu harus tahu, Aku selalu berdoa semoga kamu selalu bahagia." Ucapanmu yang membuatku memalingkan wajah dari tatapanmu.

Sungguh setelah kamu menyakitiku, aku menjadi sangat membenci kata maaf. rasanya kata maaf itu tak ada gunanya lagi di dalam hidup. Aku terus terdiam tak menanggapi ucapanmu rasa sakitku selama bertahun-tahun itu tiba-tiba kembali begitu saja. dadaku sesak karena harus menahan airmata yang terus berdesakan agar jatuh di pipiku. aku terus berusaha menahannya. aku ingin membuktikan bahwa aku bisa tanpa kamu. Aku ingin memperlihatkan bahwa aku kuat di depan kamu. 
"Aku bahagia sangat bahagia tanpa kamu." Ucapku yang terbata-bata menahan sesak dan airmata.
kamu tersenyum seolah membiarkanku untuk menikmati kembali sakit itu dengan seketika.
Tanganku bergetar karena menahan amarah dan kekecewaan, bukankah ini kali pertama aku kembali bertemu denganmu, maka pantaslah jika rasa itu semua kembali kepadaku saat ini. Heningpun kembali menerpa kita berdua.

Hingga tak terasa kita berdua sudah sampai tempat tujuan, Ya kota Bandung. Sampai disana aku dan kamupun belum kembali melanjutkan percakapan atau mungkin mengakhiri obrolan kita selama di perjalanan. kamu membantuku membawakan koperku ketika kita sama-sama akan keluar dari gerbong kereta yang kita tumpangi. kamu tersenyum kearahku, kini aku membalas senyummu. Rasanya sudah cukup sakit ini aku nikmati sendiri. Aku yakin kamupun merasakan sakit yang sama, walau mungkin sakitnya tak separah milikku. kita berduapun berjalan beriringan keluar stasiun, aku dan kamu masih terdiam dan belum kembali berbincang. 

"Bolehkan aku meminta kita seperti dahulu." Ucapmu yang kembali tersenyum kearahku. Aku terkejut dengan apa yang barusaja kamu ucapkan, ketika kita sudah sampai diluar stasiun.
Tiba-tiba seorang pria menghampiriku, pria itu langsung merangkulku. Aku yang menyadarinya hanya tersenyum kearah pria itu lalu.
"Aku ngga telat kan, pas banget sampe stasiun kereta kamu baru sampe." Ucap Pria itu yang tersenyum kearahku.
"Untungnya ngga telat." Ucapku yang tersenyum kearahnya dan sesaat kembali menatap kamu. kamu terlihat tengah menerka-nerka dengan apa yang kamu lihat, Aku ingin menjadi kejam seperti kamu.

"Aku lupa kenalin ke kamu, ini Mas Alfa dia calon suami aku. Alesan kenapa aku pulang ke Bandung karena aku akan menikah dengannya." Ucapku yang dengan bangga mengenalkan Mas Alfa kepadamu. bukankah perasaanku harus benar-benar aku buang maka ketika itu aku menemukannya. ia tak meminta ku untuk langsung melupakan mu, namun membuatku terus belajar untuk menerima apa yang tengah takdir susun untukku. Mas Alfa mulai menyodorkan tangannya kearahmu. Aku melihat kamu mulai tersenyum mendengar ucapanku, kamupun menyambut tangannya untuk berkenalan. Aku rasa ini sudah cukup, aku memang tidak bisa sekejam kamu. namun aku akan buktikan bahwa aku akan sangat bahagia bersama Mas Alfa juga keluarga kecil kami nanti. 

Aku rasa hatiku kini jauh lebih ikhlas dari sebelumnya setelah bertemu denganmu. rasanya ikhlas kini telah mengisi semua ruang didalam hatiku, tak ada lagi yang perlu aku sesali, dari apa yang pernah aku lalui bersamamu. Dari masalah, patah hati, kekecewaan bahkan kebencian, aku tak lagi membutuhkan mereka dan merekapun tak lagi harus menetap dalam diriku. sangat melelahkan menerka-nerka takdir, berharap apa yang kita impikan adalah sebuah kenyataan. namun nyatanya yang ada adalah apa yang kita impikan bukan apa yang kita butuhkan. Tuhan tahu yang terbaik untuk kita, untuk ku juga kamu. Mari bersama-sama belajar dari sakit yang menjadikan diri kita lebih baik dari sebelumnya. berbahagialah dengan apapun takdir yang Tuhan berikan, mari sama-sama berbahagia dan menerima semuanya dengan ikhlas kedepannya.

Friday, December 07, 2018

Kepastian Itu Diatas Segalanya

Gaun putih yang menjulai panjang dengan aksen renda berwarna merah muda menghiasi tubuhku. Wajahku yang terpoles makeup natural namun tetap elegant membuatku terlihat tampil lebih cantik dan anggun dari biasanya. Aku mulai melangkah perlahan, menatap pasti pria yang tengah berdiri di depanku. Ia memakai Jas yang senada dengan gaunku, dan terlihat sangat tampan dari biasanya. Senyum terus terukir di bibirnya, menambah gagah dirinya di depan sana.

Orang-orang yang mulai menyadari kehadiranku, mulai memperhatikanku. Beberapa orang tengah mengambil gambarku, sebagian lagi tengah tidak percaya dengan perubahan penampilanku. Namun yang aku rasakan, seolah aku tengah memaksa senyuman itu hadir untukku. Aku seolah berpura-pura tersenyum menerima kenyataan walau sebenarnya hatiku belum sepenuhnya menerima. Satu hal yang membuatku sesak ketika aku menemukan sosokmu di barisan tamu undangan. Kamu mengenakan Batik kebanggaanmu, Batik yang aku berikan untukmu selepas masa pengabdianku di Solo.

Ini adalah hari pernikahanku dengan seseorang yang bukan kamu. Seseorang yang mengulurkan tangannya untuk ku agar aku terlepas dari sebuah ketidakpastian. Ia memberiku sebuah kepastian yang nyata dan bukan hanya bualan semata. Seseorang yang secara tidak langsung akan menggantikanmu, Ia menawarkanku kebahagiaan yang nyata bukan sebuah kebahagiaan semu belaka. Dia memang bukan kamu, dia jauh berbeda denganmu, Dia tahu bagaimana cara memuliakan ku bagaimana cara memberiku kepastian. Bukankah bagi wanita kepastian itu diatas segalanya? Dan ia memberikan itu, memberikan apa yang tidak pernah aku temukan padamu.

Tidak ada yang perlu aku sesali harusnya dengan keputusan ku ini, karena bukankah aku benci dengan ketidakpastian namun mengapa ketika kamu memberikan aku sebuah ketidakpastian aku menikmatinya, memeluk semua rasa ketidakpastian itu. Semakin lama aku memeluk bukankah semakin menyesakkan. Bukankah yang tidak pasti lama-lama akan menjadi pasti, iya pasti dan tidak. Aku lelah jika harus bertahan didalam sebuah ketidakpastian ini, aku baru menyadarinya bahwa aku tak akan pernah menemukan sebuah kepastian bersamamu. maka dititik inilah aku kembali bersyukur karena Tuhan tengah mengirimkan seseorang lain untukku, seseorang yang memberiku kepastian itu.

Ini memang bukan hal mudah untuk ku juga mungkin kamu sendiri. Bagaimana tidak? aku yang telah menjadikan kamu tujuan ku selama beberapa tahun terakhir ini harus mengganti haluan untuk dapat menyelamatkan diriku sendiri. Kapal ku yang tengah berlayar bertahun tahun terus mencari jalan agar aku dapat bersamamu, walau kamupun tak pernah memberiku rute terbaik menuju kesana, dan aku terus di paksa mengikuti arus air laut yang terkadang bisa menyesakkan. Aku terguncang terombang ambing, kapalku rusak dan tidak lagi dapat berlayar kearahmu. Hingga akhirnya aku dipaksa takdir untuk berhenti di dermaga baru pelabuhan baru yang tentu bukan kamu.

Aku terus berusaha menerima semua kenyataan ini, walau sesak, walau sakit aku harus bisa menerima semua ini. Andaikan saja kamu memberiku kepastian seperti yang ia berikan saat ini, ah aku masih saja berandai andai tentangmu. Bukankah aku tengah belajar melupakanmu juga tengah belajar iklas dengan takdir yang tengah Tuhan tunjukan untukku. Maafkan aku yang telah memilih tujuan baru. Jangan salahkan aku ketika akhirnya kapalku bertepi di dermaganya. Tuhan pasti punya cara terbaik bagi setiap umatnya begitupun dengan proses yang aku dan kamu harus lalui.

Tiba-tiba kamu menghilang dari kerumunan para tamu undangan, Entahlah kamu tiba-tiba menghilang dan pergi begitu saja. barangkali kamu terpukul dengan apa yang terjadi hari ini atau entahlah aku tak tahu. Aku hanya menemukan sebuah surat darimu yang kau tulis langsung di hari pernikahanku. salahsatu sahabatku memberikannya kepadaku, Aku membuka surat itu dan membacanya secara perlahan.

Selamat Berbahagia Mey.
Maafkan aku yang dahulu pernah membuatmu bertanya-tanya dan dilanda kesedihan atas ketidakpastian yang aku beri. aku berharap Dia dapat membahagiakanmu dan membawamu terus untuk tetap bahagia. Terimakasih pernah menjadi rute terbaik untukku, menjadi tujuanku walau kita sama-sama tahu kita akan terus berada di dalam ketidakpastian. Terimakasih untuk beberapa tahun terakhir ini telah menungguku, sungguh Maafkan aku yang telah membuatmu mengunggu tanpa sebuah kepastian. Teruslah tersenyum dan menjadi Meyli yang aku kenal.


Gio


Setelah aku membaca pesanmu sakit yang aku rasa namun tak ada air mata yang jatuh disana itu cukup menyesakkan. Aku dan kamu tengah dididik Tuhan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dengan semua ini. semoga kaupun mendapatkan kebahagiaan yang sama sepertiku. Semoga setelah proses ini tak ada lagi hati yang sakit karena sebuah ketidakpastian. Mari kita serahkan semuanya kepada Tuhan sang Pengatur skenario hidup setiap manusia. Berbahagialah di Pelayaranmu hingga kau mendapat tujuan barumu sebuah dermaga baru, akupun akan berbahagia disini dengan dermaga baruku.

Thursday, December 06, 2018

Call Me Bae Bae


"Nayla." Teriak Merin saat dia bertemu denganku di kelas. Aku terkejut mendengar teriakannya, dia berlari ke arah ku dan duduk di depanku.
"Nay, Bentar lagi Pre-order tiket konser Wannaone mau di mulai, kamu jadi ikut ngga? Aku sih udah siap buat ikutan."
"Kamu udah izin mamah kamu?"
Merin mengangguk dengan Pasti. Aku menghela napas dan kemudian berkata "Bunda sama ayah pasti ngizinin tapi kak Melia" Aku mulai menunduk sedih.
"Kamu bujuk aja Kak Melianya, semoga dia ngasih kamu izin."
"Gimana caranya, mana bisa aku bujuk ka Melia" Ucapku yang masih menunduk.

Tiba-tiba Ponsel Merin berdering. secara tidak langsung kami berbarengan menatap ponselnya, dan aku terkejut ketika telepon masuk itu diberinama  kontak yang tidak asing denganku, Minhyun oppa. Merin mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu. aku masih menunjukkan wajah yang tidak percaya.
"Kenapa kamu?" Tanya Merin ketika dia selesai menutup teleponnya.
Aku masih menunjukkan wajah seolah tidak percaya. "Ya ampun, kontak Kakak kamu di kasih nama Minhyun"

Merin tertawa dengan ucapanku. Akupun mengeluarkan ponsel dan mencoba menelpon Merin. Handphonenya Merin kembali berbunyi, tiba-tiba senyum muncul dari wajah ku ketika aku melihat nama kontak ku di ponselnya adalah Jinyeongi yeoja chingu ( kekasih Jinyoung ).
"Kamu .. seneng banget Nay." Merek ledek
"Iyalah pastinya Rin, setidaknya ada seseorang yang percaya aku pacarnya Jinyoung." Ucapku.
Kami berduapun tertawa hingga waktu istirahat tak terasa segera berakhir.

***
"Ayah, Bunda Wanna One Juli ini mau ngadain konser lagi di Jakarta."
Ayah dan Bunda mulai menatapku, dan mulai mendengarkan apa yang akan kukatakan.
"Boleh ngga aku pergi ke konser itu?" Ucapku ragu.
Ayah memberikan ekspresi seolah bingung untuk menjawab pertanyaanku. Bunda menoleh kearah Ayah seolah memberi isyarat bahwa Bunda mempercayakan jawabannya kepada Ayah.

"Kapan?" Tanya ayah.
"Juli ini tanggal 15 Ayah."
Ayah terdiam seolah memikirkan keputusan terbaik untukku.
"Tiket mulai Pre-order hari senin ini Yah, Merin juga ikut pre-order."
"Ngapain nonton konser begituan." Ucap Kak Melia  yang tiba-tiba memotong ucapanku, aku menoleh ke arah Kak Melia dengan wajah yang tengah kebingungan.

"Udah udah ngga usah ngapain ngefans begituan. Memangnya ada manfaatnya buat masa depan kamu. Toh nanti kamu lulus masuk Trisakti. Bukan Kuliah ke luar negeri apalagi korea." Ucap Kak Melia ketus yang masih memainkan gadget.
Aku merasa terganggu dengan apa yang dikatakan oleh Kak Melia, Aku memang berbeda darinya yang sangat pintar dari kecil bahkan ia  yang mendapat gelar sarjana S1 di UI dan juga beasiswa S2 di Amerika. Akupun berdiri pergi menuju kamarku meninggalkan Ayah, Bunda juga Kak Melia.

Aku menutup dan mengunci pintu kamarku, aku berbaring di kasurku dengan air mata yang mulai mengalir di pipiku. Aku memeluk Gulingku dengan wajah tertutup. Ketika aku tengah menangis,  tiba-tiba aku merasakan seseorang mengelus rambutku seolah-olah mencoba menenangkanku, aku terkejut dengan sentuhan itu. Akupun mulai menoleh kearah asal sentuhan itu, sembari mengira-ngira bahwa aku lupa mengunci pintu hingga Bunda datang tak lama setelah aku berbaring. Sentuhan itu berhenti seolah tahu aku kan  menoleh. Setelah aku menoleh, Seseorang yang baru saja mengelus rambutku tersenyum padaku.

"Jinyoung ah ." Kata itu secara tidak sadar aku katakan ketika aku terkejut bahwa seseorang di depan ku adalah Bae Jinyoung. Dia tersenyum dengan senyum khasnya, ketika dia mendengar aku menyebut namanya. Aku mencubit pipiku untuk memastikan aku bermimpi atau mungkin ini kenyataan."Aww" Teriakku yang kesakitan juga menyadari bahwa ini bukan mimpi, aku masih menatapnya dengan tidak percaya.
Dia menatapku untuk memastikan aku baik-baik saja, karena ia melihatku yang tengah kesakitan. iapun berkata " Gwaenchana Yo ? (Tidak apa - apa)"
"Ne, Gwaenchana Yo  (Ya, tidak apa-apa)". Aku mengatakannya perlahan dengan wajah yang tidak berhenti tersenyum karena malu.
Jinyoung memelukku dan kemudian berkata " Geokjeong Hajimaseyo (Jangan Khawatir)"
Mendengar ucapannya itu, aku tiba-tiba merasakan kebahagiaan dan kenyamanan dalam pelukannya.

Tiba-tiba Bunda mengetuk pintu kamarku. "Dek, Kamu udah tidur? Boleh Bunda bicara sebentar?" Ucapnya dibalik pintu.
Aku terkejut mendengarnya, lalu melepaskan pelukan Jinyoung. Aku melihat Jinyoung terlihat kebingungan dan bertanya-tanya. Jinyoung berbalik menoleh kearah pintu kamar.
"Eotteohge ? (Bagaimana), " Ucapku, Aku mulai bingung bagaimana jika Bunda menemukan Jinyoung di kamarku. Aku menatapnya masih bertanya-tanya. "Jamkkanman-yo(Tunggu sebentar)"
Aku bergegas membuka pintu dan keluar untuk menemui Bunda.

"Bunda pikir kamu udah tidur, kita bicara di dalem kamar ya." Ucap Bunda yang melangkah menuju kamarku.
Aku secara spontan menutupi pintu kamar dengan tubuhku. Bunda mulai bertanya-tanya dengan apa yang aku lakukan. Bunda mulai mencurigaiku seolah aku tengah menyembunyikan sesuatu.
"Kenapa kamu Dek? Ada yang kamu sembunyikan?" Tanya Bunda yang mulai memaksaku untuk tidak menghalanginya. Bundapun berhasil masuk kedalam kamar, aku masih berdiri di luar dengan menutup mataku karena takut Bunda menemukan Jinyoung. mau tidak mau aku berpura-pura menguap seolah tengahh menahan kantuk.
"Bunda kita ngobrol besok aja ya, Aku udah ngantuk."
"Yaudah kalo gitu. Tidur yang nyenyak ya sayang." Ucap Bunda yang tak lama pergi meninggalkan kamarku.

Aku bergegas menutup pintu kamarku sembari menoleh ke semua sisi ruangan mencari Jinyoung.
"Jinyoung ah, Eodie Jinyoung ah? (Jinyoung dimana kamu?)" Kataku pelan ketika mencarinya.  Namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Jinyoung di sana, akupun memutuskan untuk tidur. sembari bergumam "Barusan itu nyata apa mimpi? apa mungkin aku nangis terus ketiduran"

***

"Nay, Kamu keliatannya lagi seneng banget. Dapet izin dari Ayah sama Bunda kamu ya?" Tanya Merin yang kembali menemuiku selepas pelajaran terakhir.
"More than this"
"Aku tahu, kamu di kasih izin Kak Melia kan.  Trus Kak Melia, kasih kamu tiketnya dengan gratis."
"Aku belum mendapat izin dari mereka tapi setidaknya aku bisa ketemu Jinyoung."
Mendengarkan Ucapanku Merin tertawa. "Oh, jadi kamu mimpiin Jinyoung gitu."
"Tapi itu bukan mimpi, Rin, karena aku benar-benar merasakan semua nyata. Jinyoung datang pas aku menangis, dia memeluk aku dan bilang jangan khawatir."
Merin terdiam sesaat lalu tertawa. "Well Nayla, Ini jelas mimpi, Impossible Jinyoung  datang ke kamu."
Aku tidak menggubris ucapan Merin dan terus berpikir apakah memang aku hanya tengah  bermimpi. tiba-tiba Merin menepuk bahuku, "Aku pulang duluan, Mimpi yang sangat indah Nay." Ucapnya  yang tertawa, tak lama ia beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan kelas.

Aku menghela nafas, dengan suasana hati yang berantakan. Rasanya aku tidak dapat berpikir jernih dengan apa yang ku alami. Kelaspun mulai terasa tenang karena beberapa murid mulai bergegas pulang. Aku memutuskan untuk menikmati waktu sendiri di kelas sebelum pulang ke rumah. aku melipat tangan ku di atas meja dan membiarkan kepalaku bersandar di atasnya. ruang kelas semakin sepi tanpa ada murid yang berjalan di koridor kelas. Aku menghela nafas dan memejamkan mata sejenak sebelum tiba-tiba aku terkejut karena sesuatu.

Sebuah tangan menepuk pundakku, aku terbangun dan menyadari di sampingku Jinyoung. Dia tersenyum lagi kearahku, Aku kembali mencubit pipiku untuk memastikan aku bermimpi atau tidak, dan aku merasakan kembali sakit.
Jinyoung yang melihat tingkahku tertawa dan berkata "Dangsineun jeongmal gwiyeobda (Kamu sangat lucu)" lalu dia memelukku.
Aku hanya diam tanpa berhenti tersenyum dengan apa yang Jinyoung lakukan. Sesaat Jinyoungpun melepaskan lengannya dan tersenyum lagi. 

"Konseoteueseo busangeul ibeossdago deuleosseo gwaenchanh ni ? (aku  mendengar kamu terluka di konser apa kamu baik-baik saja?)"
"Geokjeong Hajimaseyo (Jangan Khawatir)" Ucapnya sembari tersenyum, Dia menatapku dengan tangannya memegang tanganku juga.
"Neomu jal saeng-gyeosseo (Kamu sangat tampan)" Ucapku dengan polosnya ketika tanpa sadar menatap Jinyoung tanpa berkedip.
Ia tersenyum malu khasnya, lalu kembali berkata "Neoon maeum-eul dahae naleul johahani? (apakah kamu menyukaiku sepenuh hatimu?)"
Kali ini aku hanya mengangguk kearahnya, "Ne (Iya)"

Tiba-tiba seseorang memanggil namaku dengan spontan aku lepaskan genggaman tanganku dari Jinyoung, akupun menoleh ke suara ternyata Guru Kelasku Pa  Aiman ​​yang barusaja memanggilku. iapun bertanya mengapa aku belum pulang. Aku pun menjawab pertanyaannya, ketika aku kembali  menoleh kearah Jinyoung. Jinyoung kembali menghilang.

***
"Dek, sini duduk dulu sini." Ucap Ayah ketika aku baru saja tiba di ruang keluarga sepulang sekolah. 
Ayah memintaku untuk menemuinya dan berbicara dengannya di ruang keluarga. Aku melangkah ke arah sofa tempat ayah duduk.
"Gimana Dek? Kamu masih mau nonton konser itu?" Tanya Ayah membuatku memandangnya dengan takjub.
Aku menggelengkan kepala. "Andai Kak Melia ngasih izin. atau Bunda dan Ayah yang kasih izin. Kak Melia pasti ngga komentar apapun. tapi aku ngga bakalan pergi tanpa izin Ayah ataupun Bunda."
"Kak Melia, minggu depan udah kembali ke Amerika." Ayah berkata seolah memberiku sinyal. "Jadi ini." Tambah ayah yang tiba-tiba menyodorkan amplop berwarna biru terang.

Tanpa berpikir panjang aku membuka amplop itu,aku terkejut mengetahui bahwa amplop itu berisi Tiket Konser yang Wanna one world tour di Jakarta. aku masih menganga dan menoleh kearah Ayah ataupun Bunda, aku tidak dapat mempercayai apa yang barusan aku lihat.
"Ayah ini?" 
Ayah mengangguk dengan pasti.
Aku langsung  memeluk Ayah karena bahagia. "Makasih Ayah"

Bunda yang datangpun tersenyum, seolah dengan sengaja membuat skenario kejutan ini untukku bersama Ayah.
"Biarkan Kak Melia tahu dengan sendirinya." Ucap Bunda yang kini duduk di sampingku.
"Bunda, terima kasih." Akupun memeluk Bunda
"Sekarang, pergilah ke kamar, mandi. dan istirahat"
Akupun berdiri masih dengan senyuman yang terus terukir di wajahku, spontan aku kembali memeluk Ayah dan Bunda sebelum pergi ke kamar.

***

"Nayila " Sapa Jinyoung yang mengejutkanku ketika aku sedang belajar di kamarku.
Saya hanya memandangnya sekilas dan kembali ke buku saya.
"Nayila Gwaenchana Yo .? ( Tidak apa-apa )" 
"Eotteohge na hante ileolsu isseo? ( Bagaimana kamu bisa melakukan ini padaku ) " kataku yang mulai mempertanyakan apakah ini mimpi atau kenyataan.
"Mianhae, jeongmal mianhe (Maaf aku benar-benar minta maaf)"

Aku menghela nafasku terlalu bingung hingga perasaanku seolah kacau, aku mulai menoleh kearahnya lalu kembali berkata kini dengan nada yang sedikit terbata-bata. " Dangsin-eun nugu Ibnikka? (Siapa kamu) "
" Jeon-neon Jinyeongie. Neoui ma-eum soge sanda. Neo naleul bol-suisseo (Aku jinyoung aku hidup dalam pikiranmu dan kamu bisa melihatku)" Ucapnya sedikit polos, dan itu sukses membuatku  semakin kebingungan. Jinyoung tersenyum lagi padaku dengan senyum yang aku tidak tahu apa artinya.

Jinyoung tiba-tiba memelukku, lalu berkata bahwa semuanya baik-baik saja dan aku tidak perlu bertanya padanya lagi. 
"Mannaseo bangapseummida (senang bertemu denganmu)" 
"Ne, Mannaseo bangapseummida  (ya, senang bertemu denganmu)" 
Jinyoung melepaskan pelukannya perlahan, dia tersenyum padaku dengan senyum khasnya.
"Gajima Yo( Jangan Pergi )"
" Naneun tteonaji anh-eulgeoya (aku tidak akan pergi)"

"Naegahaeya hal il-eul nohchindamyeon eotteohge doelkka? (Bagaimana jika aku merindukanmu apa yang harus aku lakukan."
"Naneun hangsang neoui ma-eum eissda. neoleul bol geosigi ttaemune, naleul chajeul pilyoga eobsda (Aku selalu di hatimu, kamu tidak perlu mencariku, karena aku yang akan datang menemuimu)."
Tiba-tiba aku kembali tersenyum, rasanya lega mendengar apa yang dikatakan Jinyoung, walau dalam pikiranku masih berputar banyak pertanyaan.
" Najung-e konseoteueseo mannayo (aku akan menemuimu di konser nanti)"

Mendengar kata-kata Jinyoung, aku mengerutkan kening seolah-olah itu tidak mungkin. Bukankah ia bilang ia adalah buah dari pikiranku.
"Yaksohkhae Yo (aku berjanji)Ucapnya sambil mengangkat jari kelingkingnya ke arahku.
Aku hanya tersenyum berharap semuanya nyata, Jinyoung memberi ku Aegyo andalannya, dia juga memberi aku Finger love dengan kedua tangannya.
"Jinyoung ah, Kiyowo (Jinyoung menggemaskan)" Aku tersenyum malu karena merasa dihibur olehnya. "Naneun haengboghada yoJinyoung ah, Saranghae (aku bahagia, Jinyoung aku mencintaimu)" Tambahku dengan memberi finger love dengan kedua tanganku.
Dia tersenyum padaku sembari berkata "Naega gajang johahaneun jeohwa, bae bae (Panggilan kesukaan aku Bae Bae)."

Aku mengucapkan dengan pelan "Bae Bae" dan entah bagaimana aku menutup mataku perlahan, ketika aku membuka mata, jinyoung menghilang dari hadapanku, dan menyisakan sebuah kebahagiaan.
***
Konser Wannaone berjalan dengan lancar walau sempat terhenti beberapa saat karena antusiasnya para penggemar. Aku termasuk penggemar yang beruntung, bagaimana tidak aku berada di garis depan VVIP. Sehingga aku dapat melihat jelas Baejinyoung dari dekat, Beberapa lagu telah ditampilkan tak lupa fanscanth di setiap lagu. Aku juga merin sangat menikmati konser, akupun melupakan bagimana beberapa minggu terakhir ini aku sering di datangi Jinyoung. Akupun melupakan sejenak bagaimana banyaknya pertanyaan yang hadir di dalam pikiranku.

Sebuah momen langka terjadi ketika beberapa member diminta mengatakan beberapa kalimat dalam bahasa Indonesia yang tentu saja membuat penggemar berteriak kegirangan.
"Pegang tangan aku, Liat aku aja." Ucap Hwang Minhyun yang memulai sorak-sorai penonton , Minhyunpun meminta jinyoung untuk melakukan hal yang sama. Jinyoung terlihat tersenyum malu untuk mengatakan para member lainpun meminta penonton untuk bersama-sama meminta Jinyoung untuk melakukan hal yang mirip dengan Minhyun.
"JINYOUNG !! JINYOUNG !! JINYOUNG !!" Teriak semua penonton juga beberapa anggota. begitupun dengan aku yang mungkin pertama kali mendengarkan Jinyoung berbahasa Indonesia.

Jinyoungpun tersenyum tenang seolah dia sedang bersiap untuk melakukan hal yang sama seperti Minhyun, ia tersenyum sesekali kami beradu tatapan, entah ia sadar atau tidak dengan hal itu. Dia mulai mengatakan "Lihat aku aja" Dia mengatakan itu di akhiri dengan aegyo di akhir kalimat juga dengan senyum malu khasnya. 
Setelah melakukan aegyo dan diapun merasa malu lalu ia meminta jihoon untuk melakukan hal yang sama dan kemudian dilanjutkan Gualin, sungwoon, dan Jaehwan terakhir melakukan hal seperti Minhyun dan Jinyoung. selama itu ia tidak berhenti tersenyum, aku merasakan kebahagiaan yang besar dengan harapan dia merasakan hal yang sama. sebelum lagu terakhir di awal dia berkata "Wannable Johahae, Saranghae (wannable Aku suka, aku cinta kalian)"

Entah dia sadar atau tidak ia berdiri tepat di depanku. aku berharap ia menoleh ke arahku dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menunjuk finger love ke arahnya berharap dia menyadari dan melakukan hal yang sama terhadapku. dan mimpi ku menjadi nyata ketika dia tersenyum ke arah kameraku dan melengkapi Finger love dengan tangannya.
"Bae Bae. Nado Johahae neoleul saranghae (aku juga suka kamu, aku juga cinta kamu) " Teriakku dengan air mata yang membasahi pipiku begitu deras.

Jinyoung akan tetap dihatiku, ia tetap akan memiliki ruang sendiri disana. aku tak akan pernah mencari cara untuk menemukannya lagi. aku tak akan pernah mengkhawatirkannya karena kebahagiaanku setelah mengenalnya sudah lebih dari cukup. Biar aku saja yang menyimpan cerita ini sendiri. Tak peduli Jinyoung melakukan hal yang sama atau tidak.
"Gomawo. Milaee mannaja. (Terima kasih mari bertemu dimasa depan.)" ucapku pelan dengan mata yang masih menatapnya dari kejauhan.

Ayo Cari tahu !!

Popular Posts

Blogroll

 
Dunia Diana Chandri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template