Friday, July 19, 2024

Looks The Same


"Karena aku merasa kita punya kesamaan" 
Aku menatapnya dari bingkai kacamata milikku, ia menjawab pertanyaanku dengan cukup antusias. Aku bisa melihat jelas tatapannya kearahku, matanya yang berbinar-binar itu tepat menatap kedua bola mataku. 

Aku memalingkan wajahku kearah lain, aku hanya berusaha menetralkan pikiranku. Banyak hal yang tak ia ketahui dariku, dan banyak hal yang tak bisa menyatukan kami. Terlalu banyak ketakutan yang merajai pikiranku, aku begitu takut kedekatan ini pada akhirnya hanya akan meninggalkan penyesalan dikemudian hari. Entah untukku atau mungkin untuknya, aku benar-benar takut jika itu semua terjadi. 

"Aku pikir akan menyenangkan memiliki seseorang yang sama sepertiku, kita akan menghabiskan waktu yang sama, menikmati banyak hal yang bisa kita lakukan bersama dan aku tak perlu mengkhawatirkan apapun jika bersamamu." 

Aku masih terdiam mematung, menelan air liur yang terasa sulit bagiku. 

"Aku yakin dengan keputusanku." Tegasnya. 

"Kita mungkin sama dalam beberapa hal tapi pada kenyataannya kita tak pernah benar-benar sama." Ucapku dengan suara yang sedikit pelan dan mulai memberanikan diri menatap kearahnya. 

"Kita berbeda." Ucapku yang menatap kearahnya seolah meyakinkan bahwa perbedaan itu nyata. 

Entah apa yang ada dipikirannya, mendengar ucapanku ia justru tertawa.
"Aku tahu kamu sangat mencintai diri kamu, bukankah menyenangkan jika kamu mencintai seseorang yang menyerupaimu." 

Ah, sial. Senyum itu, aku tidak mengerti mengapa situasi ini rumit hanya untukku sedangkan ia bahkan tak merasakan apapun dari sudut pandangnya. 

"Kamu hanya tidak sadar atau mungkin tidak tahu bagaimana jadinya jika kamu bersanding dengan
seseorang yang sepertimu. Percayalah, aku benar-benar sepertimu." Ucapnya. 

Aku menundukan kepala tidak tahu harus menjelaskan seperti apa kepadanya. Terlalu banyak hal yang menumpuk didalam pikiranku hingga membuat aku mulai merasa lelah dengan diriku sendiri dan situasi yang sedang ku alami. 

Mataku tiba-tiba berkaca-kaca dengan nada bergetar aku kembali berucap, " Aku sedang berusaha menerima diriku sendiri, aku bahkan berusaha mencintai diriku sendiri namun aku tak bisa mencintai seseorang yang sepertiku. Ini terlalu menyesakkan untukku dan aku tak ingin menghadapi diriku sendiri. Aku tahu bagaimana aku telalu lemah dalam banyak hal aku tak bisa menyerahkan semuanya kepada seseorang yang sepertiku. Aku tak ingin menghadapi diri sendiri." 

Aku bisa melihat sesaat raut wajahnya terlihat terkejut dengan ucapanku, ia pasti tidak menduga bahwa aku akan berkata seperti itu. 

Sungguh, aku hanya ingin berusaha jujur pada diriku sendiri. Aku mungkin bisa mencintai diri sendiri tapi untuk mencintai seseorang yang sepertiku itu sangat sulit. Aku bahkan berusaha menghadapi diriku sendiri dengan penuh keputusasaan bagaimana nantinya jika aku bersama seseorang yang sepertiku. Ini akan sulit untukku. 

"Kamu mengatakan itu karena kamu belum mencobanya." Getirnya. 

Aku menatap perlahan wajahnya masih ada senyuman disana namun senyum itu semakin lama semakin terlihat memudar. 

"Kamu memang tak bisa, atau justru tidak mau" ucapnya dengan penekanan di akhir kalimatnya seolah ia menyadari ada hal lain yang tersirat dalam jawabanku. 

Aku kembali terdiam, menundukan kepalaku tak berani menatapnya lagi. 

Aku melihat sekilas ia mengangguk seolah memahami situasi ku. Tangannya mengusap lembut tanganku, yang membuatku menatap kearahnya kembali. Ia masih tersenyum dan menatap mataku lekat seolah mencari kebenaran dalam diriku. 

"Kamu memang tidak mau, bukan tidak bisa. Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu dan juga karena aku tidak berada disituasi yang sama sepertimu. Aku tidak tahu apa saja yang kamu lalui selama ini, akupun tidak tahu seberapa kuatnya kamu berusaha tetap bertahan." Ia memegangi tanganku dengan kedua tangannya. 

"Aku minta maaf, karena berpikir bahwa kita sama. Hanya karena beberapa kesamaan." Lanjutnya yang terus menatapku lekat. 

Aku yang berusaha kuat sedari tadi seolah pertahananku mulai runtuh dengan mataku yang sedari tadi berkaca-kaca. Aku benar-benar terkejut karena mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya begitu saja. Seolah ia telah menyelami pikiranku dan menemukan banyak hal yang selama ini menjadi alasanku untuk meragukan perasaannya. 

"Terimakasih, sudah berjuang dan mau bertahan sejauh ini. Terimakasih karena telah memberikan aku kesempatan untuk mengenal kamu." 

Air mataku mulai menetes membasahi pipiku, aku bahkan tak berani lagi menatapnya hingga pada akhirnya aku memilih menghindari tatapannya. 

"Tidak apa-apa, aku sekarang mengerti maksud kamu." 

"Maaf" lirihku. 

Ia menarik tubuhku kearahnya dan membenamkan aku dalam pelukannya. Di dalam pelukan itu air mataku seolah benar-benar pecah. Aku menyadari bagaimana aku terlalu rapuh untuk berada di dekatnya namun tak bisa ku pungkiri akupun bisa kuat saat bersamanya. 

"Maaf karena aku terlalu keras berusaha untuk meyakinkan kamu tentang perasaanku tanpa menyadari perasaanmu yang sebenarnya." 

Ah, benar. Ia memang seperti obat untuk semua rasa sakitku, untuk semua ketenangan yang selama ini aku dapatkan. namun untuk perasaannya aku masih takut untuk mengakui begitu sempurnanya perasaan itu untukku yang tak bisa ku balas utuh. 

Aku bisa merasakan detak jantungnya yang seolah memintaku untuk merasakan kenyamanan yang selalu aku dapatkan darinya. Ya, seperti yang ia katakan mungkin aku tidak mau bukan tidak bisa karena sedekat apapun kami aku masih tetap memberinya jarak dalam perasaanku hingga aku tak bisa menyadari perasaanku sendiri padanya. Entah perasaan apa yang aku bisa berikan padanya, entah sebuah kenyamanan atau justru lebih dari itu. 

"Aku akan selalu ada untukmu. Tidak peduli bagaimanapun nanti, bagiku kamu akan tetap menjadi rumah ku." Ucapnya yang semakin erat memelukku. 

Mendengar ucapannya, aku mulai membalas pelukan itu. Entah untuk jawaban terima kasih atas semua yang ia beri atau maaf atas apa yang ku lakukan.


***



Saturday, June 08, 2024

Bandung Tanpa Kita

Hai, bagaimana kabarmu? sudah lama aku tak berkunjung ke kotamu, akhirnya aku berada di kotamu lagi.  Aku bersyukur bisa menghirup udara dikota yang dipenuhi kerinduan, dan sungguh membangkitkan cerita lama yang penuh kenangan bagiku. 

Aku harap kamu baik-baik saja seperti jalanan Bandung yang tidak mengalami kepadatan di jam istirahat ini. 

Jika seseorang bertanya "Kenapa Bandung?", aku akan menjawab Itu karena kamu. Atau alasan terbesarku memilih bandung adalah kamu. Bagaimanapun, aku menyukai kota ini bahkan sebelum bertemu denganmu namun setelah pertemuan kita aku menjadi sangat menyukai kota ini. Aku menyadari bahwa aku bukan hanya menyukai kota ini namun lebih karena seseorang yang ada didalamnya. 

Ini sudah tahun kesekian aku datang ke kotamu tanpa berharap bertemu denganmu, atau berharap mengulang kenangan kita. Hanya saja cerita sederhana yang kita ukir dikota ini membuatku  selalu berlebihan hingga merasa bahwa setiap sudut Kota Bandung adalah kamu. Sejujurnya, ketahuilah aku menyukai Bandung ketika masih ada kita didalamnya namun aku pun meyakini akan ada lagi cerita hebat dikota ini bukan lagi tentang aku, kamu atau kita melainkan tentang bagaimana aku kembali ke kotamu dengan cerita baru penuh kebahagiaan dan bagaimana aku bisa tanpa kamu. 

Aku lupa kapan terakhir kali kita bertemu,  aku bahkan tak lagi mengingat jelas sosok kamu. Barangkali tanpa sengaja kita pernah saling berpapasan namun tak mengenali satu sama lain. Atau mungkin aku pernah berpapasan dengan seseorang yang menyerupaimu dan kukira itu kamu pada kenyataanya bukan. Ah, aku lebih banyak menerka jika itu kamu bagaimana? Padahal aku sendiri belum tahu apa yang harus aku lakukan jika kita bertemu tanpa sengaja. 

Aku ragu hari itu akan datang, sepertinya Tuhan memang tak pernah mengizinkan kita bertemu bahkan disaat ketika aku yakini kita akan bertemu tetap saja akan ada hal yang pada akhirnya membuat kita tak pernah bertemu. Namun bukankah aku terlalu terlihat sangat menginginkan pertemuan itu disaat aku sendiri tak pernah ingin ada pertemuan itu. 

Benar, seseorang pernah berkata "Kamu boleh jatuh cinta di Kota ini tapi tidak untuk patah hati." Aku setuju dengan itu, seharusnya aku tidak membiarkan diriku jatuh cinta dan patah hati di kota ini. Kota yang menjadi impianku sejak dulu, tapi sayangnya aku tidak bisa mengantisipasi ketika kamu datang menawarkan hati kala itu dan tanpa disadari menancapkan luka tak kasat mata yang akhirnya membuat aku merasa penuh kerinduan untuk kembali ke kota ini.

Ah, aku melupakan satu hal Bandung tetap lah Bandung walaupun banyak perubahan yang terjadi. Ia tetaplah kota yang selalu menjadi tujuan ku untuk kembali namun berbeda dengan kita, tidak akan pernah ada lagi kita dan semua hanya cerita lalu. Namun pada dasarnya aku masih tetap berharap bisa kembali ke kotamu untuk kesekian kalinya, entah sendiri atau bersama seseorang yang lain. Terus kembali menapaki kenangan kita atau menjemput rindu yang bertebaran disana. 

Ketika Bandung tanpa kita maka mungkin Bandung takan sesyahdu ini. Takan semenyenangkan ini dan takan ada rindu yang meminta pergi untuk bertemu pemiliknya. Entah kenapa rasanya Bandung bagiku akan selalu kamu. Kota yang akan selalu membuatku ingin kembali dan kembali. Seperti hal nya bertemu dengan banyak teman lama dan menyambung kerinduan tentang bagaimana mereka bisa bertemu kamu dan mengetahui kabarmu. 

Bolehkah aku mengantarkan rindu ini sekali lagi, aku ingin kamu mengetahuinya bahwa aku merindukan kita walau kini Bandung tanpa kita.

"I Loved You"






Wednesday, March 20, 2024

Dari aku untuk kamu

Ah, tiba-tiba saja alam mengingatkanku kepadamu.. 

Aku menulis ini ketika aku tiba-tiba merindukanmu, merindukan kebersamaan kita, percakapan sederhana kita, hingga hal kecil yang kita tertawakan bersama. Maka izinkan aku menulis ini sebagai caraku mengingatmu, sebagai seseorang yang baik dan pernah membuatku merasa lengkap walau sesaat. Ya, kamu adalah seseorang yang pernah ku kira masa depanku. Biarkan aku mengingatmu dengan huruf-huruf ini, huruf-huruf yang akan membuatmu hidup kekal dalam tulisanki.

Hai, terlalu banyak kata yang ingin aku sampaikan di sini hingga aku tak tahu harus seperti apa tulisan ini. Entah tulisan yang akan terlihat dipenuhi kesedihan, harapan atau bahkan rasa penyesalan, apa pun nanti yang akan ada dibenakmu setelah membaca tulisanku ini. Satu hal yang mungkin tak pernah aku utarakan kepadamu sebelumnya, bagaimana aku berterimakasih atas kehadiranmu dalam hidupku. Atas semua cerita sederhana yang membuatku sempat memercayai masa depan denganmu. Aku merajut banyak harapan yang ku gantungkan pada langit malam, pada setiap doa demi kebaikan kita berdua. Aku pun tak pernah menyesali semuanya bertemu denganmu, berteman baik dan akhirnya berada di fase saling mengiklaskan apa pun takdir yang Tuhan beri. 

Aku menulis ini tak pernah bermaksud merusak mimpi atau harapan yang mungkin kita sama-sama yakini di ruang lain. Bukan pula tengah berniat menyelesaikan cerita yang tak bernama itu sesuai harapanku. Hanya saja, aku pikir mungkin dengan inilah aku dapat mengutarakan apa yang tak pernah dapat kau terka sebelumnya. Tentang perasaanku, tentang bagaimana tak pandainya aku berekspresi juga tentang ketidakberdayaanku meluapkan apa yang sebenarnya aku rasakan. 

Ya, kenyakinan itu ada bahkan ketika akhirnya kita menjadi sangat dekat dari dua orang asing yang hanya saling mengenal lewat kata. Aku pun  menyadari ada sedikit ruang yang tanpa ku tahu sudah terisi olehmu, bukan karena aku tak peka namun diam adalah caraku mencoba menenangkan diriku dikalau saja itu hanya perasaan sendirian bagiku. 

Aku menyukai hal sederhana yang kita bicarakan pada beberapa saat, seperti halnya ketika kita memiliki pilihan yang sama. Terkadang berbincang denganmu saja sudah cukup menenangkan segala yang terjadi kepadaku, aku tak tahu apa ini yang pasti aku menyukai semuanya ketika bersamamu. Aku bahkan sempat mengira jika tulisanku akan sampai kepadamu, aku pun sempat mengira kamu akan mengubah seluruh ceritaku yang pilu penuh kesedihan terganti sebuah kebahagiaan. Aku meyakini itu untuk beberapa saat, namun sampai akhirnya aku menyadari ceritaku tentangmu tak pernah rampung bahkan harus benar-benar diisi dengan banyaknya kata penuh drama. Entah karena kamu yang lebih banyak menyukai kenyataan ketimbang tulisan penuh fiksi, drama belaka. 

Pada akhirnya kita menyadari tak pernah ada jalan untuk kita, kita hanya berada di tujuan yang sama namun dengan kapal yang berbeda. Kita hanya mengikuti skenario yang Tuhan beri tanpa mencoba berjuang menentukan sendiri ke mana akhirnya kita akan melabuhkan tujuan, pada dermaga yang sama atau justru sebaliknya. kenyataannya, kita kembali menjadi dua orang asing tanpa awal dan akhir tanpa tahu ke mana kita sebenarnya melangkah entah mendekat atau justru sebaliknya, menjauh. 

 Ya, selama ini kita memang hanya mengikuti arus dengan tujuan yang sama, nyatanya arus itu tak pernah benar-benar membawa kita pada tujuan yang sama. Entah aku yang kala itu mungkin tanpa disadari mengikuti arus tersapu gelombang hingga hanyut dan di sisi lain kamu justru mencoba megubah haluan, rute perjalananmu dengan tujuan yang entah masih sama atau berbeda. Barangkali juga kamu berniat menepikan kapalmu di dermaga yang lain. Entahlah, aku hanya tahu bahwa sejatinya Tuhan punya alasan untuk semuanya. Saat ini Ikhlas adalah senjataku untuk membuat aku tetap baik-baik saja, aku menyerahkan semuanya karena Tuhan pasti tahu yang terbaik untuk kita di masa depan. 

Membuatmu hidup dalam tulisanku bukan salahsatu alasan kuat untuk membuatmu kembali karena aku pun tak ingin kamu kembali. Aku tak memiliki alasan untuk membuatmu menetap bersamaku lagi,  karena aku meyakini kebahagiaan lain sedang menantimu di ujung lorong sana. Biarkan aku mengingatmu tanpa berharap kamu merasakan hal yang sama dan izinkanlah aku untuk terlelap dalam perasaan ini untuk sesaat saja. 

Untuk kamu yang aku pikir masa depanku, aku harap bahagia bisa menayungi kehidupanmu, bisa membuatmu hidup dan merasa sangat berarti. Semoga kelak arus itu bisa menbawamu menuju tujuan yang sebenar-benarnya, menuntun kapalmu ke sebuah dermaga yang akan membuatmu merasakan kebahagiaan juga rindu yang kan memiliki tujuannya. 

Di mana pun kamu kini, bagaimanapun kabarmu sekarang pada akhirnya aku hanya berharap akan ada seseorang yang melengkapi cerita kita masing-masing. Entah cerita tentang aku dan seseorang yang lain, kamu dengan yang lain atau justru melengkapi cerita kita yang dahulu dengan kita di dalamnya. 

Aku yakin takdir Tuhan tak pernah salah, mari sama-sama mendoakan yang terbaik untuk kita pada masa depan.

Dari aku sang penikmat sendu, untuk kamu sang penunggu rindu.

Wednesday, January 03, 2024

Bertemu, Menetap, Pergi.

Bertemu, menetap, pergi. 

Sepertinya hidupku dipenuhi oleh banyak cerita tentang bagaimana seseorang yang datang dan pergi dalam hidupku. Banyak yang menyimpan rasa sebagian hanya ingin menjadi penenang di kala aku gundah, atau barangkali hanya menjadi tempat pelarian satu sama lain. Hidup terasa membosankan, menyakitkan dan lantas terbiasa hidup berdampingan dengan kesepian.

Tak pernah ada harapan yang aku gantungkan pada mereka bahkan rasa nyaman pun aku masih menerka-nerka. Sudah lama rasanya aku tak merasakan sebuah rasa yang ku sebut jatuh cinta, entah kapan terakhir kali jantung ku berdetak ketika bersama seseorang. Beberapa orang mengatakan bahwa aku terjebak di masa lalu sebagian mengatakan aku telah mati rasa, tak ada yang tahu pastinya begitupun dengan diriku sendiri yang berusaha membuka hati namun sepertinya tak pernah ada yang berhasil mengetuk pintu hati itu dengan baik.

Tak bisa aku pungkiri aku kesepian, aku membutuhkan seseorang dalam hidupku entah sebagai teman cerita atau seseorang yang dapat menjadi sandaran untukku. Aku pun semakin terlihat menyedihkan dengan banyak prasangka orang lain terhadap ku dan yang biasa ku lalukan adalah selalu pura-pura baik-baik saja. Itu adalah hal yang paling melelahkan namun tetap aku lakukan.

Banyak hati yang menawarkan tempat tinggal tapi sebagian tak pernah bisa benar-benar tinggal mereka hanya menjadikan ku tempat persinggahan mereka untuk seseorang yang lain, entah lebih baik dariku atau justru sebaliknya.

Berulangkali aku merasa putus asa dan tak ingin terlibat dalam rasa yang rumit itu namun justru semua seketika dipatahkan oleh seseorang yang terlihat berusaha mendekat ke arah ku. Langkah kaki itu membuatku berhenti sesaat untuk berpikir bahwa aku harus menutup kemungkinan. Ia datang tanpa janji yang ia suguhkan, langkah kecil yang pasti itu membuatku berulangkali berharap untuk penjelasan dari apa yang aku mulai rasakan.

Aku memang tak pandai dalam mengutarakan perasaan begitu pula dengan apa yang aku rasakan aku tak tahu apa itu namun aku terus berpikir bahwa tak ada yang terjadi padaku walau berulang kali aku goyah dengan sikapnya. Sangat sulit untukku berpikir bahwa mungkinkah aku jatuh cinta padanya? Seperti inikah rasanya? Atau justru aku terlalu nyaman hingga tak tahu bagaimana dalam bersikap. Rasa nyaman yang di balut kata takut kehilangan menjadi nyata rasanya ketika dia mulai  melangkah perlahan menjauhi ku.

Terkadang beberapa kata yang ia utarakan menenangkan ku, bahkan hal-hal sederhana yang sulit bagiku terasa mudah bersamanya. Ia yang selalu bersikap hangat walau sikapku yang selalu dingin dan berubah-ubah padanya. Ia yang waktunya hanya untuk mendengarkan cerita ku, berusaha di dekat ku yang selalu ku balas dengan penuh keraguan. Pada akhirnya aku bertanya-tanya setelah ia melangkah menjauh dariku, mengapa aku menyakitinya? Mengapa aku tak bisa melakukan hal yang sama padanya.

Ya, aku tidak tahu apa itu kedekatan yang sebelumnya nyata mulai samar oleh garis jarak yang mulai nyata darinya. Aku tidak tahu maksud dari sikapnya kepadaku, mungkinkah ia sama seperti seseorang yang lain ataukah ini semua karena ketidaktahuan nya tentang perasaan yang mulai aku rasakan. Aku benar-bebar tidak tahu.

Hari demi hari yang berubah menjadi minggu, rasa kalut yang menyeruak dan rasa asing yang serentak datang membuatku berpikir benarkah ada rasa yang tertinggal setelah kepergiannya? Benarkah aku mulai memiliki rasa padanya seiring kedekatan kami? Aku sungguh tidak mengerti, mungkin benar aku tak pernah pandai mengekspresikan diriku. Aku tak pernah tahu bagaimana perasaan yang aku sendiri rasakan hanya berharap bahwa aku tak tertipu dengan diriku sendiri.

Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku menyukainya,
Aku terjebak di dalam diriku sendiri dan hanya menangis tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada kenyataannya, menangis tidak membuat segalanya menjadi lebih baik. Yang tersisa hanyalah kekalutan yang semakin besar dan nyata.


Aku mulai merindukan kebersamaan itu, bahkan jika hanya melihatnya hadir pun tak bisa mengobati rinduku. Mungkinkah yang ku inginkan hanya kembali bersamanya, menghabiskan waktu yang dipenuhi kebahagiaan dan tawa bersamanya. Aku mulai tersiksa dengan jarak yang ia bentangkan diantara kami, mengapa itu hanya menyakiti ku? Apa itu juga menyakitinya? Apa ia juga sama tersiksa nya seperti ku? Aku ingin melakukan yang lebih baik sebagai alasan agar ia tetap bersamaku.

Aku menyadari terkadang aku menginginkan cinta seperti itu, cinta yang mengerti tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Cinta yang menenangkan itu sulit dilakukan sendirian, Aku mungkin tidak tahu bagaimana cara membuka hatiku namun dia seolah telah masuk begitu saja di dalamnya. Ya, selama ini aku menyadari aku adalah orang serakah yang hanya tahu apa yang harus didapat. Aku lupa mengucapkan terima kasih, bahkan aku tak pernah menganggap perasaannya dengan benar. Aku hanya larut dalam ketakutan akan luka yang mungkin masih tetap ada.

SeringÄ·ali aku terlelap dalam pikiran penuh pertanyaan mengapa aku? Kenapa aku? Mengapa harus aku yang akhirnya ia pilih dan mengapa kami harus dipertemukan dalam sebuah rasa yang kami sendiri tak tahu bagaimana. Lantas aku pun bertanya mengapa dia? Mengapa dia? Mengapa dia dari banyaknya harapan yang aku gantungkan mengapa dia ada di dalamnya.


Lantas jika benar perasaan ini tertuju padanya apa yang selanjutnya harus aku lakukan? Haruskah aku menarik dia kembali padaku? Atau aku membiarkan diriku sendiri berpikir agar benar-benar jelas semua. Namun satu kalimat dapat mewakili perasaanku saat ini.

"Aku merindukannya".

Terlepas dari bagaimana kami saat ini, jarak yang semakin nyata hadir diantara kami membuatku sedikitnya mulai berusaha mengikhlaskan semuanya. Bagaimanapun nanti Tuhan menakdirkan kisah ku ini, aku pun tak boleh meragukan keputusan Tuhan untukku. Mbak Ahimsa pernah berkata jika seseorang ditakdirkan untuk kita maka bagaimanapun caranya ia akan menjadi milik kita. Ah, mungkin baiknya kini aku menyerahkan semuanya dan berusaha untuk tak pernah meragukan kuasa-Nya. Aku hanya berusaha untuk menjadi seseorang yang lebih baik dengan dia ataupun bukan di masa depan.

Ayo Cari tahu !!

Popular Posts

Blogroll

 
Dunia Diana Chandri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template