"Karena aku merasa kita punya kesamaan"
Aku menatapnya dari bingkai kacamata milikku, ia menjawab pertanyaanku dengan cukup antusias. Aku bisa melihat jelas tatapannya kearahku, matanya yang berbinar-binar itu tepat menatap kedua bola mataku.
Aku memalingkan wajahku kearah lain, aku hanya berusaha menetralkan pikiranku. Banyak hal yang tak ia ketahui dariku, dan banyak hal yang tak bisa menyatukan kami. Terlalu banyak ketakutan yang merajai pikiranku, aku begitu takut kedekatan ini pada akhirnya hanya akan meninggalkan penyesalan dikemudian hari. Entah untukku atau mungkin untuknya, aku benar-benar takut jika itu semua terjadi.
"Aku pikir akan menyenangkan memiliki seseorang yang sama sepertiku, kita akan menghabiskan waktu yang sama, menikmati banyak hal yang bisa kita lakukan bersama dan aku tak perlu mengkhawatirkan apapun jika bersamamu."
Aku masih terdiam mematung, menelan air liur yang terasa sulit bagiku.
"Aku yakin dengan keputusanku." Tegasnya.
"Kita mungkin sama dalam beberapa hal tapi pada kenyataannya kita tak pernah benar-benar sama." Ucapku dengan suara yang sedikit pelan dan mulai memberanikan diri menatap kearahnya.
"Kita berbeda." Ucapku yang menatap kearahnya seolah meyakinkan bahwa perbedaan itu nyata.
Entah apa yang ada dipikirannya, mendengar ucapanku ia justru tertawa.
"Aku tahu kamu sangat mencintai diri kamu, bukankah menyenangkan jika kamu mencintai seseorang yang menyerupaimu."
Ah, sial. Senyum itu, aku tidak mengerti mengapa situasi ini rumit hanya untukku sedangkan ia bahkan tak merasakan apapun dari sudut pandangnya.
"Kamu hanya tidak sadar atau mungkin tidak tahu bagaimana jadinya jika kamu bersanding dengan
seseorang yang sepertimu. Percayalah, aku benar-benar sepertimu." Ucapnya.
Aku menundukan kepala tidak tahu harus menjelaskan seperti apa kepadanya. Terlalu banyak hal yang menumpuk didalam pikiranku hingga membuat aku mulai merasa lelah dengan diriku sendiri dan situasi yang sedang ku alami.
Mataku tiba-tiba berkaca-kaca dengan nada bergetar aku kembali berucap, " Aku sedang berusaha menerima diriku sendiri, aku bahkan berusaha mencintai diriku sendiri namun aku tak bisa mencintai seseorang yang sepertiku. Ini terlalu menyesakkan untukku dan aku tak ingin menghadapi diriku sendiri. Aku tahu bagaimana aku telalu lemah dalam banyak hal aku tak bisa menyerahkan semuanya kepada seseorang yang sepertiku. Aku tak ingin menghadapi diri sendiri."
Aku bisa melihat sesaat raut wajahnya terlihat terkejut dengan ucapanku, ia pasti tidak menduga bahwa aku akan berkata seperti itu.
Sungguh, aku hanya ingin berusaha jujur pada diriku sendiri. Aku mungkin bisa mencintai diri sendiri tapi untuk mencintai seseorang yang sepertiku itu sangat sulit. Aku bahkan berusaha menghadapi diriku sendiri dengan penuh keputusasaan bagaimana nantinya jika aku bersama seseorang yang sepertiku. Ini akan sulit untukku.
"Kamu mengatakan itu karena kamu belum mencobanya." Getirnya.
Aku menatap perlahan wajahnya masih ada senyuman disana namun senyum itu semakin lama semakin terlihat memudar.
"Kamu memang tak bisa, atau justru tidak mau" ucapnya dengan penekanan di akhir kalimatnya seolah ia menyadari ada hal lain yang tersirat dalam jawabanku.
Aku kembali terdiam, menundukan kepalaku tak berani menatapnya lagi.
Aku melihat sekilas ia mengangguk seolah memahami situasi ku. Tangannya mengusap lembut tanganku, yang membuatku menatap kearahnya kembali. Ia masih tersenyum dan menatap mataku lekat seolah mencari kebenaran dalam diriku.
"Kamu memang tidak mau, bukan tidak bisa. Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu dan juga karena aku tidak berada disituasi yang sama sepertimu. Aku tidak tahu apa saja yang kamu lalui selama ini, akupun tidak tahu seberapa kuatnya kamu berusaha tetap bertahan." Ia memegangi tanganku dengan kedua tangannya.
"Aku minta maaf, karena berpikir bahwa kita sama. Hanya karena beberapa kesamaan." Lanjutnya yang terus menatapku lekat.
Aku yang berusaha kuat sedari tadi seolah pertahananku mulai runtuh dengan mataku yang sedari tadi berkaca-kaca. Aku benar-benar terkejut karena mendengar kata-kata itu terlontar dari mulutnya begitu saja. Seolah ia telah menyelami pikiranku dan menemukan banyak hal yang selama ini menjadi alasanku untuk meragukan perasaannya.
"Terimakasih, sudah berjuang dan mau bertahan sejauh ini. Terimakasih karena telah memberikan aku kesempatan untuk mengenal kamu."
Air mataku mulai menetes membasahi pipiku, aku bahkan tak berani lagi menatapnya hingga pada akhirnya aku memilih menghindari tatapannya.
"Tidak apa-apa, aku sekarang mengerti maksud kamu."
"Maaf" lirihku.
Ia menarik tubuhku kearahnya dan membenamkan aku dalam pelukannya. Di dalam pelukan itu air mataku seolah benar-benar pecah. Aku menyadari bagaimana aku terlalu rapuh untuk berada di dekatnya namun tak bisa ku pungkiri akupun bisa kuat saat bersamanya.
"Maaf karena aku terlalu keras berusaha untuk meyakinkan kamu tentang perasaanku tanpa menyadari perasaanmu yang sebenarnya."
Ah, benar. Ia memang seperti obat untuk semua rasa sakitku, untuk semua ketenangan yang selama ini aku dapatkan. namun untuk perasaannya aku masih takut untuk mengakui begitu sempurnanya perasaan itu untukku yang tak bisa ku balas utuh.
Aku bisa merasakan detak jantungnya yang seolah memintaku untuk merasakan kenyamanan yang selalu aku dapatkan darinya. Ya, seperti yang ia katakan mungkin aku tidak mau bukan tidak bisa karena sedekat apapun kami aku masih tetap memberinya jarak dalam perasaanku hingga aku tak bisa menyadari perasaanku sendiri padanya. Entah perasaan apa yang aku bisa berikan padanya, entah sebuah kenyamanan atau justru lebih dari itu.
"Aku akan selalu ada untukmu. Tidak peduli bagaimanapun nanti, bagiku kamu akan tetap menjadi rumah ku." Ucapnya yang semakin erat memelukku.
Mendengar ucapannya, aku mulai membalas pelukan itu. Entah untuk jawaban terima kasih atas semua yang ia beri atau maaf atas apa yang ku lakukan.
***
0 komentar:
Post a Comment