Wednesday, June 22, 2022

Lembang, pagi itu.



Gemericik air hujan membasahi bumi dengan perlahan, angin yang berhembus sedikit demi sedikit menerpa dedauan, kabut yang datang membawa rasa dingin sesaat. 

Bandung dan hujan adalah dua kalimat yang tak terpisahkan karena nyatanya Bandung maupun hujan selalu menyimpan rindu untuk siapa pun yang memujanya. 

Sudah belasan menit berlalu hening menemani kami berdua, sunyi sekali. Di bawah sebuah pelataran kios yang masih tutup di jalan lembang, kami menepi dari derasnya hujan yang turun dipagi itu. 

Beberapa kendaraan berlalu lalang di hadapan kami seolah meminta kami untuk memulai percakapan. Namun sampai detik selanjutnya kami masih terdiam tak berucap sepatah katapun, bola mata kami hanya menatap kosong kearah yang berbeda. 

Beberapa pengendara memacu sepeda motor mereka dengan cepat menembus derasnya hujan, sebagian lagi sengaja menikmati derasnya hujan dengan memacu kendaraannya begitu pelan. 

Kami berdua hanya terdiam seolah menunggu semesta yang mencairkan bekunya dinding keheningan di antara kami. Seperti tengah meratapi dinginnya hujan dipagi hari, yang datang tanpa sambutan bumi. 

Berulang kali aku berusaha merangkai kata, menyambungkan kalimat demi kalimat yang setidaknya akan mendekatkan kami namun setiap kali aku mencoba maka makin nyata rasa sunyi itu. 

Sesekali ku tatap wajahnya dari bingkai kacamata milikku, wajahnya yang tampak berbeda dari biasanya. Matanya yang meneduhkan itu kini seolah sirna, senyum yang terlahir di bibirnya itupun kini musnah. Dia seolah menjadi seseorang yang lain hari ini, mungkinkah karena ini akan menjadi pertemuan terakhir kami? Atau ini cara agar aku mudah melupakannya, Itukah yang ada dipikirannya saat ini?. 

Entah dia menyadari tatapanku atau tidak namun dia bahkan tak menoleh sedikitpun kepadaku, matanya masih menatap kedepan. Aku menghela napas berulang kali, melihatnya yang duduk disampingku dengan tatapan itu membuat rasa sakit timbul didada membuatku tak dapat melakukan hal lain hanya dapat menundukan pandangan menguatkan diri. 

Sampai akhirnya kembali ku tatap wajahnya, sebuah garis senyum tipis terlukis di wajahnya, aku mengernyitkan dahi menerka alasannya. Hingga aku menoleh kearahnya menatap, disebrang kami di bawah sebuah pohon yang tidak begitu besar seorang muda mudi tengah menepi, salahsatu dari keduanya membawakan jas hujan dan memakaikan pada yang lainnya. Mereka terlihat tertawa terbahak dengan rona merah yang terpancar di pipi keduanya, mereka menikmati hujan dipagi itu. 

"Sederhana" Begitu pikirku.
Aku tersenyum melihat apa yang mereka lakukan, hal kecil sederhana yang terlihat begitu terkesan. Kini kembali ku tatap dirinya , dia kini menyadari tatapanku. Mata kami bertemu, dua bola mata yang sempat dingin itu kini kembali meneduhkan, menghangatkan. 

Aku mengernyitkan dahi, penuh pertanyaan.

"Mungkinkah semesta ikut sedih dengan perpisahan ini?".

Aku terdiam terkejut dengan apa yang barusaja dia katakan. 

"Aku tak akan berbicara banyak hal, aku pikir kamu sudah tahu semuanya. Kita buat hari ini menjadi cerita yang indah untuk dikenang."

"Seperti matahari dan bulan yang saling mencintai namun jarak memisahkan mereka. Bulan yang hadir ketika matahari tenggelam dan matahari yang datang ketika bulan menghilang. Mereka saling mencintai dalam jarak yang tak bisa mereka ukur. Aku harap kebahagiaan datang pada kita di masa depan, barangkali aku dengan ceritaku tanpamu, kamu dengan kisah bahagiamu dengan yang lain atau mungkin pada masa depan semesta memberi kita izin kembali untuk bersama." 

Dia menunduk mendengar ucapanku. 

"Terima kasih karena menjadi alasan untuk aku bertahan, hidup di kota yang indah ini. Sore nanti aku akan kembali ke kotaku, aku harap hanya kota yang memisahkan kita tetapi tidak dengan hati kita." 

Ya, memang setiap hidup akan mengalami perpisahan. Dengan keluarga, orang terkasih, teman dan lainnya. Juga itu yang terjadi kepadaku,  entah ini akan menjadi pertemuan terakhir kami atau mungkin sebaliknya kami makin dekat dengan jarak. 

"Berbahagialah, tersenyumlah, apa pun yang terjadi pada masa depan dengan atau tanpa aku lagi." 

Bandung, lembang mungkin akan banyak hal yang berbeda setiap harinya begitupun dengan kami, juga tentang cerita yang usai ini. Tak ada yang bisa menembus mesin waktu masa depan, apa pun keputusan yang Tuhan pilihkan untuk kami itulah takdir terbaik dari-Nya.


Sunday, March 27, 2022

Selamat berbahagia

Salahsatu alasan kuatku masih menyukai kotamu, adalah kamu. Rasanya kenangan yang telah lama itu masih hidup abadi disana. Entahlah, setiap kali aku datang ke kotamu selalu saja harapanku tentangmu itu kembali muncul begitu besar. 

Aku merindukan kotamu, merindukan setiap kenangan yang mungkin hanya aku yang mengenangnya. Akupun merindukanmu, merindukan senyum, sikap dinginmu juga tingkah laku mu yang berubah menjadi hangat setiap bersamaku dulu. 

Rasanya baru kemarin kamu datang menawarkan rasa untukku, menjadikan kita lebih dekat satu sama lain. Sebelum akhirnya berpisah begitu saja. Harus ku akui masih banyak pertanyaan dalam diriku yang belum sempat ku tanyakan, pertanyaan yang mengganjal di pangkal tenggorokan. Tentang kamu, tentang aku, tentang kita. 

"Apakah kau juga memiliki perasaan yang sama seperti dulu? Setidaknya agar aku tak merasa jatuh cinta sendirian." 

Ada banyak sekali pertanyaan dalam benakku namun tak satupun dapat ku utarakan didepanmu. Aku berharap setidaknya mendapatkan rasa lega atas rasa yang selama ini tertahan, namun selama itu pula aku menyadari bahwa aku benar-benar telihat menyedihkan karena aku yang nyatanya masih belum benar-benar merelakanmu, atau sebenarnya aku sudah merelakanmu namun belum bisa melupakan tentang kita. Hmm.. Entahlah. 

Akupun terlihat bodoh di depan mereka yang tahu cerita kita. Terkadang mereka masih saja menanyakanmu padaku atau menanyakan tentang kita, sungguh aneh bukan. Entah ekspresi seperti apa yang harus ku buat setiap kali pertanyaan tentang kita hadir, tersenyum? Bukankah itu lebih menyesakkan?. Namun ketahuilah yang biasa ku lalukan adalah mengacuhkannya, berpura-pura tak mengenalmu dan ya, aku mengalihkan pembicaraan. Sepertinya caraku ini selalu sukses membuat aku terlihat baik-baik saja. 

Entahlah..
Setiap kali kenangan kita datang menghampiriku maka setiap itu pula aku berjanji pada diriku untuk lebih bahagia darimu, bahkan setelah melihat kamu bahagia dengan wanita mu. Aku terus berusaha menyembuhkan luka yang tak kasat mata yang kau berikan, kenangan yang terkadang menyesakkan juga rindu yang terkadang abu-abu. 

Sampai akhirnya sebuah undangan tiba di depan rumahku, sebuah kertas berlatar belakang bunga dengan sentuhan warna yang elegan itu menusukku. Ada namamu disana di barisan calon pengantin dengan kekasihmu, kau akan melangsungkan pernikahan minggu ini. 

Dan yang membuatku tak dapat berkata adalah ekspresiku, aku tidak begitu terkejut akan hal ini, rasa sesak yang selama ini menggerogotiku bahkan seketika hilang, luka dan sakit yang mungkin saja timbul pun tak ada. 

Apa ini?? Apa aku benar-benar sudah melepaskanmu?. Aku bahkan merasakan kebahagiaan atas kebahagiaanmu. Aku tahu betul bukan kamu yang mengundangku, namun kekasihmu yang berteman baik denganku sebelum akhirnya tahu tentang kita dahulu. 

Sebenarnya jauh dalam lubuk hatiku aku merasa ada perasaan lain yang tumbuh, perasaan yang aku sendiri tak dapat menerjemahkannya. Entah rasa terluka karena kehilanganmu dengan kenyataan yang menamparku, atau rasa bahagia karena dengan ini aku benar-benar lepas dari perasaan ku untukku. 

Ya, aku sempat berpikir akan lebih bahagia dari kamu. Aku menyebar undangan pernikahanku dengan pria lain yang lebih baik dari kamu, dan aku mengundangmu datang, mendapatimu membawa pasanganmu dan ucapan selamat darimu. Tapi pada kenyataannya aku kembali kalah, kamu telah melangkah lebih jauh bahkan ketika aku masih terjatuh, dan ketika aku mulai merangkak memperbaiki hati aku mendapatkan undangan pernikahanmu. Ya, aku akui aku kembali kalah. 

Terimakasih atas kesedianmu dulu yang menjadikanmu tokoh utama dalam setiap ceritaku. Mungkin perasaanku sudah benar-benar lenyap namun tidak dalam ceritaku, karena nyatanya kamu masih hidup dalam setiap jengkal cerita di blog pribadiku. 

Selamat berbahagia untukmu dan pasanganmu. Semoga bahagia selalu memayungimu. Doa ku tulus untukmu...

Thursday, March 10, 2022

Kamu Dan Masa Lalu Kita

Berada dipelukanmu mengajarkanku apa artinya kenyamanan kesempurnaan cintaaa...
Berdua bersamamu mengajarkan apa artinya kenyamanan kesempurnaan cintaa....
(Rizky Febian -Kesempurnaan cinta)


Terdengar sebuah lagu dari dalam restoran, suara yang melambai-lambai menenangkan aku yang tengah berkutat dengn beberapa dokumen hasil meeting perusahaan. Seketika aku menikmati irama dengan tangan yang masih memegang balpoin milikku, tanpa sadar sebuah senyuman lahir dari bibirku. Aku mengingatnya..

Tiba-tiba lamunanku melambung kemasa sekolah dahulu, hari dimana seharusnya aku menyatakan perasaanku kepadanya. Dia yang sempat bertahan lama menjadi tujuanku dimasa depan, wanita yang ceria dan baik hati. Dia adalah teman sekolah semasa SMA dahulu, teman cerita dibanyak kesempatan. Entah dia mengingat kejadian ini atau tidak, tapi setiap kali lagu itu di putar maka setiap itu pula bayangan tentangnya selalu hadir.

Kala itu kami mendapatkan tugas yang harus dikerjakan satu kelas disalahsatu rumah siswa, setelah seharian berkutat dengan tugas itu maka ketika malam hari aku mengajaknya untuk bersantai menikmati udara malam dan langit yang kala itu cerah.

Banyak hal aneh yang kami bicarakan, aku terus mengundur-undur waktu untuk menyatakan perasaanku. Kami terlelap dalam obrolan yang tak berujung hingga akhirnya, aku mulai memberanikan diri menyodorkan ponsel milikku. Ku putar sebuah musik yang beberapa hari itu membuatku merasa mewakiliku, dengan senyum diwajahnya ia mulai mendengarkan musik yang ku putar.

"Lagu siapa ini?"
"Rizky febian, kesempurnaan cinta."
Dia hanya tersenyum sembari memejamkan mata, menikmati setiap nada yang diputar.

Aku tersenyum melihat setiap jengkal ekspresi yang tertuang ketika ia mulai menyukai alunan lagu itu, entah ini saat yang tepat untukku atau bukan namun aku tak ingin menyesal diakhir.

"Has" ucapku pelan memberanikan diri.
"Iya, Ki."
Kamu menjawab ucapku masih dengan sebuah senyuman dibibirmu, dan aku yang masih mengatur kata untuk mengakui perasaan ini kepadamu. Kami saling beradu pandang, ia masuh terus tersenyum menunggu ucapanku selanjutnya.

Beberapa menit kami beradu pandang, hingga tiba-tiba Daus teman sekelas kami datang menghampiri. Entah apa yang tengah ia rencanakan kedatangannya kala itu yang ku kira hanya sebatas bercandaan namun nyatanya melibatkan perasaan.

"Has, ikut gue dulu." Ucap Daus dengan nada setengah memaksanya untuk ikut.
"Kemana?"
"Ayo!!" Tegasnya.

Dan bodohnya aku kala itu hanya terdiam, tak berucap sepatah katapun walaupun saat itu aku tahu Daus tengah merusak suasana kedekatan kami. Tapi, tak ada yang dapat aku lakukan. Aku seolah mengikhlaskannya perlahan pergi bersama Daus.

Aku tak pernah menyangka, hari-hariku setelah malam itu adalah sebuah kegelisahan juga kesedihan tanpa akhir.

Rumor mulai berdatangan tentangnya, wanita yang selama ini ku cintai kini telah menjadi kekasih Fajar. Dan aku baru menyadarinya, alasan Daus memaksanya untuk ikut malam itu adalah untuk menemui Fajar. Setiap kali aku mengingat itu maka rasa penyesalanpun menggerogoti diriku, mengapa kala itu tak langsung aku katakan? Mengapa aku terlalu menunda perasaan ini. bahkan aku tak tahu apa dia memiliki perasaan yang sama atau tidak.

Namun disisi lain aku begitu penasaran apakah selama ini ia tak memiliki perasaan yang sama? Atau selama aku dekat dengannya, selama itu pula sebenarnya ia dan fajar tengah dekat.

"Mengapa waktu kita selalu salah?" Jeritku dalam hati setiap mengingat itu.

Entah apa yang sedang terjadi kala itu namun aku menjadi dekat pula dengan Fajar, setelah mengetahui hubungannya dengan Fajar. Beberapa kali aku, Daus dan Fajar menghabiskan waktu. Sebenarnya kepribadian kami sedikit berbeda, bahkan kami tak memiliki kesamaan namun kami menjadi dekat begitu saja, aku yang sedikit alim dan Fajar yang termasuk dalam golongan siswa bandel disekolah. Mungkin kah karena dia??

Ada satu kejadian dimana kala itu aku memakai jam tangan milik Fajar, ku kenakan ketika berada dikelas. Dan dia datang menemuiku setelah berbincang cukup lama dengannya, ia menyadari jam tangan yang sedang ku kenakan.
"Ih keren banget, buka-buka minjem."
"Punya fajar ,nih." Ucapku yang langsung membuka jam tangan itu.
Ia terlihat sedikit terkejut dan membiarkan jam tangan itu tergeletak begitu saja diatas meja.
"Kenapa?" Tanyaku yang sesikit heran dengan sikapnya, ia terdiam sesaat dan tak lama tersenyum memakai jam tangan itu.

Setelah kejadian itu ia sering sekali memakai jam tangan itu, aku sempat bertanya tentang kepemilikan jam tangan itu dan ia mengatakan bahwa fajar memberikan jam tangan itu untuknya.

Waktu berlalu begitu cepat, rasanya baru kemarin lulus sekolah dan berpisah untuk mencari mimpi masing-masing. Setelah kelulusan aku memang tak lagi berkomunikasi dengannya, selain aku mencoba menenangkan hatiku yang mungkin hancur sebagian lagi karena memang kesibukan kami yang berbeda.

Terkadang, Aku meluangkan waktuku untuk sesekali melihat postingannya disosial media. Ada kalanya aku tersenyum menatap wajahnya yang tampat tak berubah walau tak jarang aku tertegun menatap bingkai wajahnya yang tersenyum bahagia dengan rangkulan dari seorang pria yang entah siapa.

Rasa cemburuku rasanya tak pernah habis jika mengingat itu, aku merutuki nasibku yang pengecut tak pernah berani mengatakan perasaan padanya. Waktu dan kesempatan tak pernah bisa diputar kembali. Andai saja waktu itu aku memberanikan diri mungkin setidaknya aku dapat memilikinya, walau aku tak permah tahu akan seperti apa hubunganku dimasa depan.

BRUUUGGGHHHH !!!
sebuah suara membangunkanku dari lamunanku, seorang wanita dengan jilbab biru tak sengaja bertabrakan dengan pengunjung yang lain tak jauh dari mejaku. Entah bagaimana aku seolah tertarik dengan wanita itu, hingga akhirnya aku bergegas berlari membantunya bangun dan membereskan beberapa barang miliknya.

"Maaf ya mba."
"Iya gapapa mba, lain kali hati-hati ya." Ucap pengunjung yang lain.
Aku masih berdiri disamping wanita itu berharap wanita itu menyadariku.
"Maaf ya mas ngerepotin makasih ba.." ucapnya terpotong ketika mata kami saling beradu pandang.
"Hai Has" sapaku.
"Rizki? Benerkan itu kamu."
Aku tersenyum mengangguk.
Dia terlihat antusias, mendapati bahwa itu memang benar aku.
Aku mengajaknya untuk bergabung di mejaku, dan membawakan barang-barang miliknya.

"Sorry, jadi ngerepotin kamu."
"Gapapa, Has. Kamu mau pesen apa? Milk tea kaya dulu?" Ucapku yang masih hafal kebiasaannya.
"Ih, ko kamu masih inget? Padahal udah lama banget lho."
"Apapun tentang kamu gak akan pernah hilang dalam ingatanku, Has." Ucapku dalam hati.
Aku hanya tersenyum kearahnya.

Akupun memesankannya kepada pelayan restoran.
"Kamu gimana kabarnya Has? Ko kamu bisa disini?"
"Aku baik Ki, udah mau dua bulannan ini aku pindah ke kantor pusat."
"Wah, jadi ada temen pulang kampung ya."
Ia mengangguk dengan antusias.
"Kamu sendiri gimana kabarnya ? Katanya jadi manager ya?".
Aku tertawa kearahnya, dan menyangkal ucapannya.
Pelayanpun datang membawa sebuah cake dan minuman pesanan untuk kami.

"Kamu habis meeting?" Tanyaku yang melihat beberapa barang yang ia bawa.
"Ini berkas-berkas dari kantor lama buat di copy di kantor baru. Kamu sendiri ngapain disini sore-sore ngga jalan ama pacar?"
"Habis ketemu client tadi. Ngga lah ngga ada" ucapku yang di selingi tawa penuh kepura-puraan.
"Sendiri terus." Ucapnya yang mulai meminum perlahan minumannya.

"Btw, kapan nih mau sebar undangan? Di sosial media kayanya udah serius ya?"
Ia terdiam sesaat dan memainkan gelas di hadapannya.
"Lho kenapa?" Ucapku yang merasa sedikit aneh melihat sikapnya.
"Sebenarnya, udah ngga Ki. Mungkin memang bukan jodohnya." Ucapnya sedikit terbata-bata.
Aku terkejut mendengar ucapannya, sebuah hubungan yang aku pikir akan menjadi kebahagiaan untuknya nyatanya tak benar-benar diperuntukan untuknya.

Ia mulai mengangkat kepalanya yang sedaritadi menunduk dan kembali tersenyum kearahku dengan mata yang terlihat berkaca-kaca, ia berpura-pura kuat dihadapanku namun aku yakin sebenarnya ia tak baik-baik saja.
"Kamu tidak bertanya alasannya kenapa?" Ucapnya yang barangkali heran melihat ekspresiku yang tetap diam mendengar kenyataan hubungannya.
"Apa kamu tidak ingin tahu lebih?" Lanjutnya.
"Tentang apa?"
"Mengapa hubunganku berakhir? Alasan aku merantau? Apa aku baik-baik saja?"
Aku tersenyum kearahnya seraya berkata, "Ya kamu pasti punya alasan sendiri".
Kamu menatapku dan kembali tersenyum.

Aku memang tidak bisa menyembuhkan sakit itu, apapun alasannya aku yakin itu sangat berat untukmu.
"Ya, jauh-jauh merantau kesini. eh, taunya disini ketemu sama orang lama juga." Ucapku bercanda.
Tawa mulai keluar darinya.

******

Haripun mulai petang, kami memutuskan untuk pulang. Aku mengantarkannya ke kantor sesuai permintaanya, ia beralasan masih banyak hal yang harus ia lakukan di kantor. Padahal dibalik itu aku mengkhawatirkannya yang barangkali akan pulang malam demi tugas itu, namun ia menyakinkanku bahwa ia akan baik-baik saja.

Sepeda motor yang telah lama ku tumpangi sendiri kini terasa berbeda karena ia yang berada dibelakangku. Seseorang yang dahulu aku pikir tak akan pernah bertemu kini kembali.

Setelah menempuh perjalanan yang tak begitu lama akhirnya kami sampai di depan kantornya. Ia mulai turun dari sepeda motorku, iapun berterimakasih atas apa yang terjadi di pertemuan kami itu.

"Kalau begitu sampai ketemu lain waktu ya, Ki."
"Iya Has."
"Kamu hati-hati di jalan ya."
Iapun mulai berpamitan dan melangkah pergi meninggalkan aku yg masih terdiam diatas sepeda motorku.

Semakin lama aku menatapnya dari belakang semakin hilang bias bayangnya dari penglihatanku. hingga sebuah rasa ketakutan terlintas dalam benakku, berkecamuk dengan logika dan kenyataan yang ku alami. Bagaimana jika aku harus kehilangannya untuk kesekian kali? Bagaimana jika pertemuan ini sebenarnya tanda bahwa ia memang ditakdirkan untukku? Atau mungkin saja kesempatan seperti ini tak akan kembali.

Akhirnya aku turun dari atas sepeda motorku dan bergegas berlari menuju kearahnya. Aku berhasil menghentikan langkahnya yang terkejut melihatku yang kini berdiri dihadapannya. Aku menatap bola matanya yang indah itu, aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan seperti ini lagi.

"KI" Ucapnya yang masih terkejut.
"Has," ucapku yang menetralkan napasku.
"Iya".
Aku terdiam sesaat menenangkan perasaanku yang semakin berkecamuk meronta-ronta keluar dari bibirku.
"Aku ngga tau ini salah, atau memang bukan waktu yg tepat. Tapi aku sendiri ngga bisa menahannya lagi. Maaf kalo aku mengatakan ini ketika aku tahu bahwa hati kamu sedang terluka dan belum sembuh sepenuhnya"

"Maksud kamu ki?"
Tatapan wajahnya kini berbeda, ia menatapku terkejut sekaligus terlihat asing penuh terkaan.
"Malam itu aku memintamu mendengarkan sebuah lagu, dan aku melihatmu tersenyum manis saat mendengarkannya di depanku. Yang akhirnya membuatku yakin, aku menyukaimu. Ternyata aku sangat menyukaimu, Has."

Ia tak berucap sepatah katapun hanya terdiam terpaku dengan wajah yang seolah tengah mencoba mencerna maksudku.

"Aku ngga mau kehilangan kesempatan ini untuk kesekian kalinya Has, setelah Fajar dan pria yang lainnya. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa kamu andalkan, seseorang yang menjaga kamu, melindungi kamu juga terus berada disamping kamu karena mencintaimu."

"Ki.." ia kembali mengucap namaku namun kali ini pelan.

"Has, jadilah pacarku. Aku sangat menyukaimu, ah tidak. Aku mencintaimu !!" Ucapku penuh kesungguhan padanya.

Semilir angin menyapa kami dikeheningan petang itu, kami saling bertatapan. Kedua bola mata kami beradu. Ada banyak hal yang mungkin ia lupa dariku, namun aku tak pernah melupakan tentangnya begitu pula dengan perasaanku padanya.

Entah apa yang ada dalam benaknya mendengar apa yang barusaja aku ucapkan, sekipun jika jawabannya adalah penolakan maka aku tak peduli dengan itu karena bagiku mencintainya adalah sebuah keajaiban dan kebahagiaan untukku meski mungkin harus kembali mencintainya dalam kejauhan.

Aku memang tak pernah tahu seberapa banyak dan dalam luka yang ia rasakan namun aku meyakini diriku bahwa aku bisa menyembuhkan luka itu, karena mungkin obat dari segala luka adalah cinta yang baru.


Ia tersenyum manis mendengar pengakuanku.

*******

TAMAT











Ayo Cari tahu !!

Popular Posts

Blogroll

 
Dunia Diana Chandri Blogger Template by Ipietoon Blogger Template