Lima belas tahun kehilangan orang yang sangat berarti bagiku adalah sebuah kesakitan yang teramat menyakitkan. mungkin Tuhan jauh lebih mencintaimu, jauh lebih menginginkanmu untuk berada disana bersama-Nya. Mungkin juga Tuhan tengah menguji kesetiaan dan cintaku kepadamu.
Terkadang aku tak paham jalan sebuah takdir, ketika aku pikir akan seperti ini ternyata kenyataannya tidak seperti apa yang aku pikirkan. Aku telah mengalami penyakit Paru obstruktif kronis diusiaku yang saat itu menginjak 30 tahun. setelah menjadi perokok aktif dimasa muda, maka aku menghabiskan waktu tua ku dengan menjadi pria paruh baya yang memiliki penyakit serius, yang terkadang mengalami sesak nafas hingga dilarikan kerumah sakit dan menghabiskan banyak waktu untuk mengobati penyakitku.
Dan disetiap masa sulitku, kamu selalu ada menemaniku. kamu menghabiskan banyak waktumu untuk merawatku, juga menjadi obat kegelisahan yang aku hadapi. kamu adalah alasan aku untuk sembuh. namun kini tak lagi, karena aku harus kehilangan kamu, satu-satunya orang yang menyemangatiku agar selalu optimis bahwa aku akan sembuh dari penyakit kronis yang aku alami.
Di usiamu yang saat itu menginjak 55 tahun, Dokter mendiagnosa bahwa tubuhmu tengah diserang penyakit berbahaya, Kanker otak Stadium IV. Aku tak pernah habis pikir bagaimana bisa kamu menutupi itu semua dengan senyumanmu, dengan keceriaanmu setiap bersamaku. bahkan kau tak pernah mengeluh atau memperlihatkan kesakitanmu. setiap kali aku mengingat fakta ini aku merutuki diriku karena membiarkanmu tersiksa sendiri.
Maafkan aku yang seolah tak pernah memperdulikanmu, tak pernah mengerti apa yang sebenarnya kau rasa. tak seharusnya aku membiarkanmu menderita sendiri menahan rasa sakit yang ternyata jauh lebih menyiksamu. Akulah suami terbodoh yang membiarkanmu menerima kesakitan itu sendiri, bukankah seharuskan kita sama-sama saling menyemangati. Jika saja aku tahu ini semua sejak awal, tak akan ku biarkan kamu merasakan itu sendiri. bukan aku yang harusnya kau dampingin namun aku yang seharusnya mendampingimu. begitu hebatnya kau menyimpan semua hingga tak ada satupun yang mengetahuinya.
Dua minggu, menerima pengobatan tubuhmu memberikan reaksi lain, obat-obat keras yang masuk kedalam tubuh kecilmu seakan tak dapat menyembuhkan sakit yang tengah kau rasakan. hingga akhirnya, kau lebih dulu di ambil Tuhan. Saat itu, rasanya kakiku lemas tak dapat menompang tubuhku hingga akhirnya anak-anak kita membantuku untuk berada disampingmu terakhir kali. akupun memeluk tubuhmu yang membiru, mencium keningmu cukup lama. rasanya ingin aku menyangkal takdir yang terjadi, mengapa Tuhan begitu cepat mengambilmu? mengapa ia tak lebih dulu memanggilku? bukankah aku yang telah lama menghabiskan waktu dengan penyakitku? inikah sebuah keadilan?
"Mas, Jangan Khawatir. aku baik-baik saja. maafkan aku jika selama aku merawatmu terkadang membuatmu kesal ataupun jengkel kepadaku." Ucapmu sebelum menghembuskan nafas terakhirmu malam itu. kau menggenggam tanganku, tanganmu cukup dingin dan aku membalas genggamanmu berusaha menghangatkannya.
"Tidak, Dek. kamu tak pernah melakukan kesalahan apapun padaku. kamu adalah istri yang terbaik. maaf kan aku tidak bisa membuatmu bahagia. maafkan aku yang tak menyadari sakit yang kau miliki."
Kamu yang tertidur diatas kasur rumah sakit hanya tersenyum simpul dengan mata yang telah berkaca-kaca. aku mendekat duduk disampingmu dan memelukmu. membiarkan kamu menangis dipundakku, seperti yang biasa aku lakukan setiap kali kamu menangis.
"Mas, aku titip anak-anak ya, juga cucu-cucu kita nanti." Kamu lalu melepaskan tubuhmu dari pelukanku. yang di ikuti anggukanku. akupun mencium keningmu, dengan berharap Tuhan memberimu kesempatan untuk tetap bersamaku.
"Kakek ko nangis?" Tanya Narnia cucu pertama kita yang menyadarkanku dari lamunan tentangmu. wajahnya yang mungil sangat menyerupai wajahmu kala muda dulu. kini usianya menginjak 12 tahun. Kamu dahulu menginginkan nama cucu pertama kita adalah Narnia. sesuai dengan nama panggilanmu kala kecil, karena memiliki tatapan nanar.
"Kakek pasti inget sama Nenek ya." Ucapnya yang duduk disampingku dan memelukku.
Aku hanya tersenyum simpul seolah mengiyakan semua yang ia katakan.
"Kek, Ayo kita berangkat sekarang. nenek pasti sudah menunggu disana." Ajak Narnia.
Sayang, Hari ini adalah tepat Lima belas tahun selepas kepergianmu. Aku, anak-anak dan juga cucu-cucu kita akan menemuimu. aku yakin mungkin kau tersenyum disana, maafkan jika setiap kali aku mengingatmu aku menangis. semoga kelak Tuhan menyatukan lagi kita di syurga-Nya.